Titik
telah sampai aku
pada semantik kata
yang tanak tak lagi beranak
seiring dingin yang tibatiba ingin
kalimat telah menanggalkan tandabacanya
: usah usik sesuatu yang entah
tegaklah!
Minggu, 17 Juni 2007
Titik
telah sampai aku
pada semantik kata
yang tanak tak lagi beranak
seiring dingin yang tibatiba ingin
kalimat telah menanggalkan tandabacanya
: usah usik sesuatu yang entah
tegaklah!
Minggu, 17 Juni 2007
Deru mesin bisku
Terdengar mengejar. Tapi tak kulihat perpisahan.
Setanganmu tampak basah.
Tapi matamu tak menggugurkan
Daundaun yang resah. Lalu,
Kau tunjukan padaku
Matahari yang tak sempat berucap,
“Selamat malam.”
Terlalu lama cinta telat waktu.
Pada kelembutannya yang abstrak, utopiaku beradu nyata dengan distopia. Semakin lama menunggu semakin kesadaran ini terganggu. Aku telah menunggumu. Semenjak kita berjanji untuk saling mengait jemari.
Angin mulai risau. Kegelapan berhamburan memenuhi ronggarongga dalam mataku. Pun ketakutan menyergapku dengan kehalusan surealis yang menikam.
Terlalu cepat pagi menjemput rerumputan.
Malam kehilangan ketenangannya yang menyala, menyudahi geliat spontan yang begitu perih mengejan. Selalu saja sunyi menelantarkan kelelahankelelahan ini. Mari rayakan. Semenjak bahasa verbal lupa mengepakkan keringatnya. Kita takkan kehilangan kembali fragmen-fragmen tanpa titik yang membawa kita pada hujan rintik.
Terlalu lama kita berdiam mengulurulur makam.
Tak ada apaapa di luar sana.
Waktu takan mampu menyembuhkan luka; sesuatu sejenis panci dalam dirimu tak pernah kosong. Setiap desir pikiranmu yang tertuang di dalamnya akan menjelma air panas yang akan kau seduh kopi—membuatmu hangat menepis karat.
Seperti endorphin dari sebuah coklat kegemaranmu.
9 maret 07
__tongsampah
Buah zakarku membuka tanya
Menanti jawaban lidahmu
Yang menggigil ragu
Putingku mengerjap
Membangunkan malam dengan kalap
Kau terkesiap
Keheningan begitu bening
Menggugurkan matamatamu
Pada jemari lentikmu
Kau terpejam
Kujilati remahremah resah
Yang menggeliat karat
: pelacur mana yang tak punya
surganeraka selain kelaminnya
sendiri?
“Ssstt,,, padamkan suaramu
Kalimat hanya akan memikat
Kiamat.”
22 februari 07
Tanya dalam Rumput
Dusta adalah tanya dalam rerumputan yang terus menjalar di halaman lengang dalam diriku seperti halnya esbatuesbatu yang mencair pada kulkas dalam nadiku yang meranggas. Jika kau pikir segala senyum dapat berubah merah, bagimana dengan tangis yang seketika sinis? Percayalah, ketakutan ini bukan sematamata gerimis penuh berahi di sebuah senja pada kota tua—dalam diriku.
Ketakutan ini serupa hidup yang terus menerus hadir dalam rupa yang sama; fesyenfesyen lapuk yang menyelubungi matamata nanar yang memandang liar dan terus melaju pada belukar kata dan makna.
Hingga kau terbenam dalam belaian senyummu, aku akan kembali pada rumputrumput yang terus menjalar; menyianginya dan menyeduh sedikit amarah tanpa harus kalah—di ruang keluarga yang hangat dengan sedikit sakit—dalam diriku.
17 jan 07
Puisipuisiku
Tanggal
Dari
Batangnya
Memberi
Interupsi
Sunyi
Untuk
Aku
Melangkah
Mencari
Akarnya
: sejauh
Engkau
Mengayuh
Sauh
“semboyan setiap penulis:
gila aku tidak bisa
waras aku tidak pantas
bisaku hanya neurotik”
--Roland Barthes
tibatiba cemas menyelinap
ke ruangtamu yang pengap
—dalam diriku
sepertinya ia masuk
lewat jendela telinga
yang kubiarkan terbuka
duduk di sofa ia menyalakan TV
dengan secangkir kopi
sambil menyeruput iklan
tentu saja aku terganggu
beringsut dari tidurku
yang malumalu
lalu keluar kamar
menuju kulkas
sedang apa yah kamu
di dalam?
(kemarilah masuki pelukanku
aku menantimu)
22 februari 07
Aku putih menyerpih
; bersama hujan yang tak merintik
perih. Dosaku
berlalu menjadi payung
biru dalam lingkaran
syahdu.
Sudah. Biarkan menyala
: menyongsong pelangi
bujur sangkar
menepi
bdg, 14 feb o6
Serupa bening yang mengiringi hening, ia kembali pada titik sebelum resah mengulumnya. Masih menggenggam aspal dan kacakaca, ia bernyanyi lirih. Sampai mulutnya tak mampu mengeluarkan aksara apapun—hanya bentukbentuk rongga yang menggeliatliat.
“Kita mungkin tak perlu apapun untuk mati.”
“Bahkan sekedar alasan?”
“Mati memiliki logikanya sendiri.”
Senja lalu menciumku seperti kekasih yang lupa jalan pulang. Menatap terus ke depan. Sekaratnya dan sekaratku bertabrakan. Kita terpental menjelajahi kebisuankebisuan vibrasi televisi. Sekarang, kita benarbenar tak tahu berada di mana.
“Setidaknya, mati bukan mitos.”
Hidupku di dalam diriku yang hidup bersama diriku menyeringai. Merah jambu.
Senin, 06 Agustus 2007
Sesenyap melepas asap ke kuburan terdalam dari kedipan yang merajam, aku terengah menghadap kalap. Hembusan nafasmu mengalunkan birahi kotatua yang merasa sunyi dihadang renta. "Adakah kata tanpa aksara?"
Jemarimu melentikkan api yang gemericik ke dalam tubuhku. Sedang rapuh begitu manja menjajakan gelegak yang belum lagi tegak. "Jika kamu mengatakan senja titisan tiada, asyikkah kesendirian?"
Mata kita samasama mengejan, membiarkan sesuatu yang tak ternalar memainkan nadanya. Dan telingatelinga kita saling mencari.
Minggu, 17 Juni 2007
Senja bukan saja telah mencampakkan aku dan memaksakan terang yang mengerang. Senja juga yang memasukkan mesinmesin pemintal ke dalam kepalaku dan membuat hidupku berdetak seolah bom waktu. Saat aku selesai mencuci tanganku, anggota tubuhku yang lain merengek seperti mobil derek.
“Aku sudah cukup lelah.”
Dalam jalan raya yang penuh kemacetan juga perasaan waswas terhadap rambu lalulintas. Orangorang saling bergegas menuju entah yang terarah. Juga kulitkulit yang mengelupas dan mencoba menempatkan daun pintu pada posisi yang pas.
“Apakah hidup hanya berarti bertahan redup?”
Engkaulah
Malam panjang tanpa
Waktu yang mengulum
Gumintang menjadi
Tampak usang untuk
Diucapkan puisi
Dari
Kegelapanmu
Seberkas telaga
Memancarkan geriginya
Yang dahaga
Akan belaian purba
Menggairahkan
—memintamu menjulurkan
Lidah untuk mengecap
Orgasme tanpa titik
Dari
Kesahduan tubuh
Utuh yang berpeluh
Hiduplah sayang
Pada getargetar
Yang menggelinjang
I
Jika jemari kasarmu
Melentik dengan lilin yang gemerlap,
Jika mata merahmu
Tersenyum dengan cahaya marun,
Jika hidung pesekmu
Memancung dengan plastik yang gemericik;
Biar kubasuh lukamu
Dengan liur yang sedikit berpuisi.
Ketakutan ini adalah pagi
Yang tak ingin memecahkan embun
Pada dedaunan rimbun.
Agar mati kelak
Tak menghadirkan hidup yang tak terhidupi.
II
Jika hening membuatmu gusar
Pada matahari yang terbit dari pusar,
Biarkan katakataku meluruh
Dan membuat dewa cinta terbunuh:
Sudah seharusnya ia mendapat tempat
Di keranjang segiempat.
Jika kebenaran menyelimutimu
Dengan cinta Oedipus pada ibundanya,
Biarkan rasa bersalahku menggilas
Ayahnya yang mati
Untuk kesekian kali.
Tatap kesedihanmu yang meratap.
Engkau tak perlu menjadi benar
Dalam disiplin barisan,
Cukuplah menjadi pemberani
Bagi kematian yang kau persiapkan.
Engkau menulisi pikiranku;
Dengan awan dengan
Hujan, ciptakan kubangan
Tempat mandi
Bagi diri yang bernyanyi
Sambil menari menyumpahi
Pagi—
pada lanskap yang telanjang
memanjang
seolah sedang membangun
katakata
yang dapat terbang
melintasi baitbarisrimairama
menjadi
makna
lalu, membiarkannya
dihembuskan angan
;menyerpih melepas perih
Engkau menulisi pikiranku;
Dengan langit dengan
Mata yang menyipit
Pada baris pertama,
Engkau
Memberinya judul
Seikat kata yang tersirat
Pada stasiun imaji
Katakataku menjelma
Harapharap cemas
Yang emas
Membelah setiap huruf A menjadi
Alphabet – sampai Z
Untuk sampai dirimu
(nogosari I – 21 Jul. 06)
Lalu engkau terpaku
Pada pahatanpahatan masalalu yang bisu
“Bisakah kau matikan suarasuara itu?”
Cukup sudah berdarah
Menjadi patahanpatahan lelah
Engkau menyeringai diterjang waktu
Lalu engkau mengigau
—dan aku mendesau
“Sampai di mana kita?”
Selasa, 04 September 2007
Senja katakata terburai
Gemulai senyummu
Selaksa madu
Meninggalkan jejakjejak
Di seantero sukmaku
Hingga ia menjadi lekang
Aku hanya tak ingin hilang
: setidaknya tersangkut
Langkah kecil dari mimpi
Yang kau hendak angkut saja
Sudah cukup merebahkan lutut
Sebening hening
Kala sang pecinta
Mengalungkan bahagia
Pada leher kekasih
—Menghempas kulitkulit yang terkelupas
Minggu, 26 Agustus 2007
05:28:50
Pada lukanya yang ungu aku berseru, sedingin apakah engkau wahai sakit yang berkelambu hingga engkau tak lagi berkuku? Terdengar diam yang masuk angin: pameran kejijikan dan kesetiaan yang bertubitubi sekaligus. Lalu, dengan tubuh yang bergetar di satu sisi dan dengan muak yang pucat di sisi lainnya, ia muntah: seperti mengeluarkan nanah dari luka yang telah mengering, keputusasaan dapat menjadi pengiring makan malam yang dusta dan membiarkan bahagia mengambil perannya sebagai pengenyang yang tak pernah menemui titik kenyangnya.
Dan aku masih melamun lama hingga hujan reda.
Pisaupisau dalam diriku mendesau, tanak oleh gelisah, lalu beterbangan menuju suasana penuh igau. Ditempatinya suasanasuasana tersebut dengan ketakutan seorang tiran terhadap debudebu perlawanan.
Aku tetap saja bermain manja meski tidur tak memberi keramahan laiknya sebuah kasur. Tak heran memang: rindu ini selaksa hujan gerimis di suatu senja dengan pelangi yang memayungi, pun bau tanah yang mengilhami.
Belum juga tuntas desau pisaupisau dalam diriku, juga senja yang dipayungi pelangi, aku telah ditikam oleh dendam dari suatu masa yang padam oleh suatu entah.
"Matikan semua cahaya: biarkan aku menjadi cahaya!"
Katakataku berguguran pada kukukuku kakimu dengan buah zakar yang membuka. Juga lubang pusarku yang terkelupas hampir lepas. Dunia ini bongkahan altar—pada rambutrambut halusmu kuhisapi angguranggur yang berkelakar.
Matamu tersenyum, menyunggingkan sesosok tubuh tanpa masa lalu yang rapuh. Dengan hidung di kaki dan gigi di jarijari. Berjalan mengeja malam untuk menghafal kelam—liat menggeliat.
Jika mimpi adalah ilusi maka ilusi hanyalah mimpi aksen
: sehangat bermalam di desahmu yang menyengat.
Derit mesin tua yang gemericik mengganjili sudah gerak tarian hujan. Malam terbunuh. Sepi berhamburan meloncati tubuhtubuh melepuh dalam mimpi bersauh. Kita lupa berharap. Kita lupa pada hasrat yang membuat kita genap sebelum dicerabut lelap. Markamarka yang berserakan memberi murka. Tandatanda kehilangan rupa. Arwah penasaran sang malam menjengukku dan mengapit lenganku.
Mungkin kita akan sampai sebentar lagi. Tapi bukan cinta, sepertinya. Karena aku tidak melihat kata yang berkacakaca.
Selasa, 06 Nopember 2007
Rangkaian senyummu masih merambati detak geloraku yang teronggok kaku dalam kulkas tanpa lampu. Pada garis lurus pipimu aku menemukan jurang dengan aroma gunung dan nyanyian burung
—tentu saja terdapat juga rapuh yang subuh di
Tapi kita sama sekali tak membutuhkan papan iklan dalam masa depan yang belum lagi tertulis. Langkahkan saja: mengeja kalimat perfonem dengan merem
—secantik cinta tanpa tanda petik.
21 Oktober 2007
Helai rambutmu mencari
Cecap lidahku panas membiru
Gemulai resahmu bertaut
Erat dengan gelombang
Sesuatu yang merobek
Selimut tidurku
“Lupakah kita
Menyusun ketidaktepatan
Yang berserakan?”
Matamataku menusuki
Tubuhtubuhmu mencoba menyelinap
Lindap pada tiap poriporimu
Bulukudukku merayap
Dengan kecepatan dendam
Yang ambigu
Jemarimu merengek,
“Jangan lepaskan kegelisahan ini,
Wahai dobel vokal pertama!”
Tibatiba ketakutan
Yang gersang ditaburi
Hujan pasang
Rasa dingin menyelinap
Pada nafasnafas
Kita yang entah;
Rasa ingin merembes
Pada lidah
Kita yang merindukan rumah
“Oh… rengkuh aku
Dalam bahagia derita
Juga warnawarna
Yang kembali mendapati
Jendela makna.”
“Sebab luka atau cinta
Hanyalah pilihan,
Perikecilku.”
21 oktober 2007
I
Semerbak nyanyian tubuhmu membangunkan segumpal wajah yang lama terbenam dalam merah. Kematian. Begitu erat ia mengalunkan cerita cinta berkalung daundaun yang berguguran dari matamata bersolek kecantikan.
Lalu engkau memberi isyarat pada tubuhmu untuk diam. Sejenak. Dan membiarkan dengungdengung dari nada yang lain untuk memainkan instrumeninstrumen sedih yang menerbangkan setiap kata pada bentuk tak bernama yang memiliki banyak pintupintu untuk dimasuki.
Di sana kita menyudut dan tersulut suatu entah yang berdarah. Parah. Kita bergegas membalut kesunyiankesunyian secara serentak dengan senyumsenyum yang terkulum seperti halnya fontfont vokal berambut ikal.
Gerimis jatuh meringis. Tanpa kata. Bayangbayangmu berhamburan menjumputi remahremah tanah yang menerbangkan sayapsayapku pada kalimatkalimat rekat dan mengikat menjelma paragraf.
Aku terhempas dengan perut yang terantuk keras pada batubatu, yang mulai terantuk; dalam diriku.
II
Lalu engkau tertawa.
Jika saja kita punya cukup waktu untuk menulisi langit dengan awanawan pastel yang berhamburan hurufhuruf tanpa luka pada detik ketika engkau menjerit kecil, mungkin hujan enggan mampir barang segelintir.
Gejolak terlalu kuat menghentak. Dan kita benarbenar lupa apa yang hendak disampaikan keringatkeringat yang menyelubungi kemaluanku, juga kemaluanmu.
Tapi kita tertawa.
21 jan 07
Kunikahi detak jantungmu yang menggantung dengan tatap mata bersama jemari yang berpilin dan pundak yang berundak. Kusingkap matamu yang lelap dengan bibir basahku yang menanggalkan resah bersama melankoli di puncak mimpi. Kupetik tubuhmu yang bernyanyi merdu dengan lesung pipit yang menari sahdu menikmati semarak musik tanpa jarak. Kukecap lahap ujung lidahmu yang menjadikan kenangan sebagai penanda sejarah dan petanda indah bersama bibir yang menantang cibir: nikahnya duka dan bahagia.
21 Oktober 2007
kupinang engkau dengan bismillah
di malam ini
disaksikan rembulan dan gumintang
kusematkan al-fatihah
pada setiap jemarimu, dan
kukecup mesra keningmu dengan serangkaian
alhamdulillah
(nogosari I – 21 Jul. 06)
Temaram demam
Mengajak jejakjejak
Mengeja (kembali) kata
Di satu jenis tangis
Yang genap tanggal
Pada tanggal tigabelas
Di sebuah kamis
“Bangunkan saja!
Ia telah cukup terkantukkantuk”
“Aku hanya takut
Menjadi kutuk.”
“Tak apa
Biar luka menyemai
Indahnya tabir cakrawala.”
“Terus berjalan
Tak akan membuatku begitu
Jauh dari rumah.”
11 Juli 2007
yang
mati
biarkan
mengubur
dirinya
sendiri
: melanjutkan
rajutanrajutan
pelangi
( I take my desire for realiy
because I believe in the reality of my desire)
9 maret 07
Menyalalah wahai mata yang kehilangan kata pada pandangan pertama; biarkan kelebat bayangmu membakar sejumput kerinduanku yang berjejalan nama: untuk kehangusan yang telah dan untuk kehausan yang akan.
Menyalalah…
Asal jangan menyerah!
22 Oktober 2007
Kunyalakan lilin bahagia
Pada jejakjejak yang bertebaran
Di seantero tubuhmu
Menanti
Hingga menjadi malam
Yang menguapkan dendam
Sebening cinta
Ketika membasuh luka
Malam beranjak diam.
Menyusun ketidaktepatan tertentu untuk menghasilkan dendam. Tubuhtubuhku digelayuti mimpimimpiku atas nafasnafas yang memburu. Tandatanyatandatanya menulisi pikiranku dengan semacam tinta yang juga tak suci—ada beberapa bayang berasap memakai jubah dengan tubuh yang rebah. Mungkin ketakutan mungkin kegilaan sedang meninabobokannya. Bukan karena perasaan yang tertawa atau sendawa, yang pasti.
Aku tahu itu!
Masih dalam keremangan, semacam pasar malam yang tibatiba saja karam, daundaun dari awan menetaskan hujan yang juga beranjak diam. Spermasperma berceceran dari setiap ucap yang menguap. Susunan bahasa yang kau genggam pun menggelinjang panjang, tanpa kepastian sejauh mana akan bertahan. Langit menengadah. Berselingkuh dengan tanah untuk merayakan kesucian dari lahirnya putraputri jadah.
Masih perlukah perayaan kesunyian yang lain, sayang?
Dingin
Dalam jasadku bersarang angin
Menangistertawadanjumawa mereka sibuk
Menulisberceritadanbercinta. Tibatiba,
Pancisendokpiring mengiring
Menimbulkan kegaduhan yang menyita
: Hidup masih terus berjalan dengan
Sesekali diselingi dendam
Bagaimanapun bahagianya,
Kesakitan tak pernah diharapkan
bertambah. Tapi pada titik ini
Berhentilah bersamaku memuja dan
Biarkan segalanya menjadi seperti
Apa yang akan terjadi
: Entah hujan entah harus mengejan
Dan hidup tak perlu menangis
Atau ditangisi
Rs. Klaten, duaenam juli 2005