Sabtu, 07 Juni 2008

Titik.

Titik

telah sampai aku

pada semantik kata

yang tanak tak lagi beranak

seiring dingin yang tibatiba ingin

kalimat telah menanggalkan tandabacanya

: usah usik sesuatu yang entah

tegaklah!

Minggu, 17 Juni 2007

Terminal Senja.


Deru mesin bisku

Terdengar mengejar. Tapi tak kulihat perpisahan.

Setanganmu tampak basah.

Tapi matamu tak menggugurkan

Daundaun yang resah. Lalu,

Kau tunjukan padaku

Matahari yang tak sempat berucap,

“Selamat malam.”

Terlalu Lama Cinta Telat Waktu.


Terlalu lama cinta telat waktu.

Pada kelembutannya yang abstrak, utopiaku beradu nyata dengan distopia. Semakin lama menunggu semakin kesadaran ini terganggu. Aku telah menunggumu. Semenjak kita berjanji untuk saling mengait jemari.

Angin mulai risau. Kegelapan berhamburan memenuhi ronggarongga dalam mataku. Pun ketakutan menyergapku dengan kehalusan surealis yang menikam.

Terlalu cepat pagi menjemput rerumputan.

Malam kehilangan ketenangannya yang menyala, menyudahi geliat spontan yang begitu perih mengejan. Selalu saja sunyi menelantarkan kelelahankelelahan ini. Mari rayakan. Semenjak bahasa verbal lupa mengepakkan keringatnya. Kita takkan kehilangan kembali fragmen-fragmen tanpa titik yang membawa kita pada hujan rintik.

Terlalu lama kita berdiam mengulurulur makam.

22 September 2007

Terapi Diri.


Tak ada apaapa di luar sana.

Waktu takan mampu menyembuhkan luka; sesuatu sejenis panci dalam dirimu tak pernah kosong. Setiap desir pikiranmu yang tertuang di dalamnya akan menjelma air panas yang akan kau seduh kopi—membuatmu hangat menepis karat.

Seperti endorphin dari sebuah coklat kegemaranmu.

9 maret 07

Tawarmenawar Dengan Pelacur.


__tongsampah

Buah zakarku membuka tanya

Menanti jawaban lidahmu

Yang menggigil ragu

Putingku mengerjap

Membangunkan malam dengan kalap

Kau terkesiap

Keheningan begitu bening

Menggugurkan matamatamu

Pada jemari lentikmu

Kau terpejam

Kujilati remahremah resah

Yang menggeliat karat

: pelacur mana yang tak punya

surganeraka selain kelaminnya

sendiri?

“Ssstt,,, padamkan suaramu

Kalimat hanya akan memikat

Kiamat.”

22 februari 07

Tanya dalam Rumput.

Tanya dalam Rumput

Dusta adalah tanya dalam rerumputan yang terus menjalar di halaman lengang dalam diriku seperti halnya esbatuesbatu yang mencair pada kulkas dalam nadiku yang meranggas. Jika kau pikir segala senyum dapat berubah merah, bagimana dengan tangis yang seketika sinis? Percayalah, ketakutan ini bukan sematamata gerimis penuh berahi di sebuah senja pada kota tua—dalam diriku.

Ketakutan ini serupa hidup yang terus menerus hadir dalam rupa yang sama; fesyenfesyen lapuk yang menyelubungi matamata nanar yang memandang liar dan terus melaju pada belukar kata dan makna.

Hingga kau terbenam dalam belaian senyummu, aku akan kembali pada rumputrumput yang terus menjalar; menyianginya dan menyeduh sedikit amarah tanpa harus kalah—di ruang keluarga yang hangat dengan sedikit sakit—dalam diriku.

17 jan 07

Tandakoma.


Puisipuisiku

Tanggal

Dari

Batangnya

Memberi

Interupsi

Sunyi

Untuk

Aku

Melangkah

Mencari

Akarnya

: sejauh

Engkau

Mengayuh

Sauh

Tamu Tak Diundang.


“semboyan setiap penulis:

gila aku tidak bisa

waras aku tidak pantas

bisaku hanya neurotik”

--Roland Barthes

tibatiba cemas menyelinap

ke ruangtamu yang pengap

—dalam diriku

sepertinya ia masuk

lewat jendela telinga

yang kubiarkan terbuka

duduk di sofa ia menyalakan TV

dengan secangkir kopi

sambil menyeruput iklan

tentu saja aku terganggu

beringsut dari tidurku

yang malumalu

lalu keluar kamar

menuju kulkas

sedang apa yah kamu

di dalam?

(kemarilah masuki pelukanku

aku menantimu)

22 februari 07

Sudah.


Aku putih menyerpih

; bersama hujan yang tak merintik

perih. Dosaku

berlalu menjadi payung

biru dalam lingkaran

syahdu.

Sudah. Biarkan menyala

: menyongsong pelangi

bujur sangkar

menepi

bdg, 14 feb o6

Seringai Merah Jambu.


Serupa bening yang mengiringi hening, ia kembali pada titik sebelum resah mengulumnya. Masih menggenggam aspal dan kacakaca, ia bernyanyi lirih. Sampai mulutnya tak mampu mengeluarkan aksara apapun—hanya bentukbentuk rongga yang menggeliatliat.

“Kita mungkin tak perlu apapun untuk mati.”

“Bahkan sekedar alasan?”

“Mati memiliki logikanya sendiri.”

Senja lalu menciumku seperti kekasih yang lupa jalan pulang. Menatap terus ke depan. Sekaratnya dan sekaratku bertabrakan. Kita terpental menjelajahi kebisuankebisuan vibrasi televisi. Sekarang, kita benarbenar tak tahu berada di mana.

“Setidaknya, mati bukan mitos.”

Hidupku di dalam diriku yang hidup bersama diriku menyeringai. Merah jambu.

Senin, 06 Agustus 2007

Senyawa Rawa.


Sesenyap melepas asap ke kuburan terdalam dari kedipan yang merajam, aku terengah menghadap kalap. Hembusan nafasmu mengalunkan birahi kotatua yang merasa sunyi dihadang renta. "Adakah kata tanpa aksara?"

Jemarimu melentikkan api yang gemericik ke dalam tubuhku. Sedang rapuh begitu manja menjajakan gelegak yang belum lagi tegak. "Jika kamu mengatakan senja titisan tiada, asyikkah kesendirian?"

Mata kita samasama mengejan, membiarkan sesuatu yang tak ternalar memainkan nadanya. Dan telingatelinga kita saling mencari.

Minggu, 17 Juni 2007

Senja yang Lepas.


Senja bukan saja telah mencampakkan aku dan memaksakan terang yang mengerang. Senja juga yang memasukkan mesinmesin pemintal ke dalam kepalaku dan membuat hidupku berdetak seolah bom waktu. Saat aku selesai mencuci tanganku, anggota tubuhku yang lain merengek seperti mobil derek.

“Aku sudah cukup lelah.”

Dalam jalan raya yang penuh kemacetan juga perasaan waswas terhadap rambu lalulintas. Orangorang saling bergegas menuju entah yang terarah. Juga kulitkulit yang mengelupas dan mencoba menempatkan daun pintu pada posisi yang pas.

“Apakah hidup hanya berarti bertahan redup?”

23 September 2007

Sekarat Sajak.


sajakku

sekarat

pada

jejak

kalimat

dengan

tanda

serumu

aku

berkarat

09 maret 07

Seize The Day II.


Engkaulah

Malam panjang tanpa

Waktu yang mengulum

Gumintang menjadi

Tampak usang untuk

Diucapkan puisi

Dari

Kegelapanmu

Seberkas telaga

Memancarkan geriginya

Yang dahaga

Akan belaian purba

Menggairahkan

—memintamu menjulurkan

Lidah untuk mengecap

Orgasme tanpa titik

Dari

Kesahduan tubuh

Utuh yang berpeluh

Hiduplah sayang

Pada getargetar

Yang menggelinjang

Seize The Day.


I

Jika jemari kasarmu

Melentik dengan lilin yang gemerlap,

Jika mata merahmu

Tersenyum dengan cahaya marun,

Jika hidung pesekmu

Memancung dengan plastik yang gemericik;

Biar kubasuh lukamu

Dengan liur yang sedikit berpuisi.

Ketakutan ini adalah pagi

Yang tak ingin memecahkan embun

Pada dedaunan rimbun.

Agar mati kelak

Tak menghadirkan hidup yang tak terhidupi.

II

Jika hening membuatmu gusar

Pada matahari yang terbit dari pusar,

Biarkan katakataku meluruh

Dan membuat dewa cinta terbunuh:

Sudah seharusnya ia mendapat tempat

Di keranjang segiempat.

Jika kebenaran menyelimutimu

Dengan cinta Oedipus pada ibundanya,

Biarkan rasa bersalahku menggilas

Ayahnya yang mati

Untuk kesekian kali.

Tatap kesedihanmu yang meratap.

Engkau tak perlu menjadi benar

Dalam disiplin barisan,

Cukuplah menjadi pemberani

Bagi kematian yang kau persiapkan.

Seikat Kata (yang) Tersirat.


Engkau menulisi pikiranku;

Dengan awan dengan

Hujan, ciptakan kubangan

Tempat mandi

Bagi diri yang bernyanyi

Sambil menari menyumpahi

Pagi—

pada lanskap yang telanjang

memanjang

seolah sedang membangun

katakata

yang dapat terbang

melintasi baitbarisrimairama

menjadi

makna

lalu, membiarkannya

dihembuskan angan

;menyerpih melepas perih

Engkau menulisi pikiranku;

Dengan langit dengan

Mata yang menyipit

Pada baris pertama,

Engkau

Memberinya judul

Seikat kata yang tersirat

Sebuah Subuh di Peron Imaji.


Pada stasiun imaji

Katakataku menjelma

Harapharap cemas

Yang emas

Membelah setiap huruf A menjadi

Alphabet – sampai Z

Untuk sampai dirimu

(nogosari I – 21 Jul. 06)

Sebuah Cinta Terkapar, Kubunuh!


Lalu engkau terpaku

Pada pahatanpahatan masalalu yang bisu

“Bisakah kau matikan suarasuara itu?”

Cukup sudah berdarah

Menjadi patahanpatahan lelah

Engkau menyeringai diterjang waktu

Lalu engkau mengigau

—dan aku mendesau

“Sampai di mana kita?”

Selasa, 04 September 2007

Sebening Hening.


Senja katakata terburai

Gemulai senyummu

Selaksa madu

Meninggalkan jejakjejak

Di seantero sukmaku

Hingga ia menjadi lekang

Aku hanya tak ingin hilang

: setidaknya tersangkut

Langkah kecil dari mimpi

Yang kau hendak angkut saja

Sudah cukup merebahkan lutut

Sebening hening

Kala sang pecinta

Mengalungkan bahagia

Pada leher kekasih

—Menghempas kulitkulit yang terkelupas

Minggu, 26 Agustus 2007

05:28:50

Sambil Menunggu Hujan Berhenti.


Pada lukanya yang ungu aku berseru, sedingin apakah engkau wahai sakit yang berkelambu hingga engkau tak lagi berkuku? Terdengar diam yang masuk angin: pameran kejijikan dan kesetiaan yang bertubitubi sekaligus. Lalu, dengan tubuh yang bergetar di satu sisi dan dengan muak yang pucat di sisi lainnya, ia muntah: seperti mengeluarkan nanah dari luka yang telah mengering, keputusasaan dapat menjadi pengiring makan malam yang dusta dan membiarkan bahagia mengambil perannya sebagai pengenyang yang tak pernah menemui titik kenyangnya.

Dan aku masih melamun lama hingga hujan reda.

Pisau dalam Diriku.


Pisaupisau dalam diriku mendesau, tanak oleh gelisah, lalu beterbangan menuju suasana penuh igau. Ditempatinya suasanasuasana tersebut dengan ketakutan seorang tiran terhadap debudebu perlawanan.

Aku tetap saja bermain manja meski tidur tak memberi keramahan laiknya sebuah kasur. Tak heran memang: rindu ini selaksa hujan gerimis di suatu senja dengan pelangi yang memayungi, pun bau tanah yang mengilhami.

Belum juga tuntas desau pisaupisau dalam diriku, juga senja yang dipayungi pelangi, aku telah ditikam oleh dendam dari suatu masa yang padam oleh suatu entah.

"Matikan semua cahaya: biarkan aku menjadi cahaya!"

Persetubuhan Tandaseru.


Katakataku berguguran pada kukukuku kakimu dengan buah zakar yang membuka. Juga lubang pusarku yang terkelupas hampir lepas. Dunia ini bongkahan altar—pada rambutrambut halusmu kuhisapi angguranggur yang berkelakar.

Matamu tersenyum, menyunggingkan sesosok tubuh tanpa masa lalu yang rapuh. Dengan hidung di kaki dan gigi di jarijari. Berjalan mengeja malam untuk menghafal kelam—liat menggeliat.

Jika mimpi adalah ilusi maka ilusi hanyalah mimpi aksen

: sehangat bermalam di desahmu yang menyengat.

Perjalanan Malam.


Derit mesin tua yang gemericik mengganjili sudah gerak tarian hujan. Malam terbunuh. Sepi berhamburan meloncati tubuhtubuh melepuh dalam mimpi bersauh. Kita lupa berharap. Kita lupa pada hasrat yang membuat kita genap sebelum dicerabut lelap. Markamarka yang berserakan memberi murka. Tandatanda kehilangan rupa. Arwah penasaran sang malam menjengukku dan mengapit lenganku.

Mungkin kita akan sampai sebentar lagi. Tapi bukan cinta, sepertinya. Karena aku tidak melihat kata yang berkacakaca.

Selasa, 06 Nopember 2007

Perikecilku.


Rangkaian senyummu masih merambati detak geloraku yang teronggok kaku dalam kulkas tanpa lampu. Pada garis lurus pipimu aku menemukan jurang dengan aroma gunung dan nyanyian burung

—tentu saja terdapat juga rapuh yang subuh di sana.

Tapi kita sama sekali tak membutuhkan papan iklan dalam masa depan yang belum lagi tertulis. Langkahkan saja: mengeja kalimat perfonem dengan merem

—secantik cinta tanpa tanda petik.

21 Oktober 2007

Perikecil dalam Dobel Vokal Pertama.


Helai rambutmu mencari

Cecap lidahku panas membiru

Gemulai resahmu bertaut

Erat dengan gelombang

Sesuatu yang merobek

Selimut tidurku

“Lupakah kita

Menyusun ketidaktepatan

Yang berserakan?”

Matamataku menusuki

Tubuhtubuhmu mencoba menyelinap

Lindap pada tiap poriporimu

Bulukudukku merayap

Dengan kecepatan dendam

Yang ambigu

Jemarimu merengek,

“Jangan lepaskan kegelisahan ini,

Wahai dobel vokal pertama!”

Tibatiba ketakutan

Yang gersang ditaburi

Hujan pasang

Rasa dingin menyelinap

Pada nafasnafas

Kita yang entah;

Rasa ingin merembes

Pada lidah

Kita yang merindukan rumah

“Oh… rengkuh aku

Dalam bahagia derita

Juga warnawarna

Yang kembali mendapati

Jendela makna.”

“Sebab luka atau cinta

Hanyalah pilihan,

Perikecilku.”

21 oktober 2007

Paragraf Persetubuhan.


I

Semerbak nyanyian tubuhmu membangunkan segumpal wajah yang lama terbenam dalam merah. Kematian. Begitu erat ia mengalunkan cerita cinta berkalung daundaun yang berguguran dari matamata bersolek kecantikan.

Lalu engkau memberi isyarat pada tubuhmu untuk diam. Sejenak. Dan membiarkan dengungdengung dari nada yang lain untuk memainkan instrumeninstrumen sedih yang menerbangkan setiap kata pada bentuk tak bernama yang memiliki banyak pintupintu untuk dimasuki.

Di sana kita menyudut dan tersulut suatu entah yang berdarah. Parah. Kita bergegas membalut kesunyiankesunyian secara serentak dengan senyumsenyum yang terkulum seperti halnya fontfont vokal berambut ikal.

Gerimis jatuh meringis. Tanpa kata. Bayangbayangmu berhamburan menjumputi remahremah tanah yang menerbangkan sayapsayapku pada kalimatkalimat rekat dan mengikat menjelma paragraf.

Aku terhempas dengan perut yang terantuk keras pada batubatu, yang mulai terantuk; dalam diriku.

II

Lalu engkau tertawa.

Jika saja kita punya cukup waktu untuk menulisi langit dengan awanawan pastel yang berhamburan hurufhuruf tanpa luka pada detik ketika engkau menjerit kecil, mungkin hujan enggan mampir barang segelintir.

Gejolak terlalu kuat menghentak. Dan kita benarbenar lupa apa yang hendak disampaikan keringatkeringat yang menyelubungi kemaluanku, juga kemaluanmu.

Tapi kita tertawa.

21 jan 07

Nikahnya Duka dan Bahagia.


Kunikahi detak jantungmu yang menggantung dengan tatap mata bersama jemari yang berpilin dan pundak yang berundak. Kusingkap matamu yang lelap dengan bibir basahku yang menanggalkan resah bersama melankoli di puncak mimpi. Kupetik tubuhmu yang bernyanyi merdu dengan lesung pipit yang menari sahdu menikmati semarak musik tanpa jarak. Kukecap lahap ujung lidahmu yang menjadikan kenangan sebagai penanda sejarah dan petanda indah bersama bibir yang menantang cibir: nikahnya duka dan bahagia.

21 Oktober 2007

Nikah Sunyi.


kupinang engkau dengan bismillah

di malam ini

disaksikan rembulan dan gumintang

kusematkan al-fatihah

pada setiap jemarimu, dan

kukecup mesra keningmu dengan serangkaian

alhamdulillah

(nogosari I – 21 Jul. 06)

Mengaji Sunyi.


Temaram demam

Mengajak jejakjejak

Mengeja (kembali) kata

Di satu jenis tangis

Yang genap tanggal

Pada tanggal tigabelas

Di sebuah kamis

“Bangunkan saja!

Ia telah cukup terkantukkantuk”

“Aku hanya takut

Menjadi kutuk.”

“Tak apa

Biar luka menyemai

Indahnya tabir cakrawala.”

“Terus berjalan

Tak akan membuatku begitu

Jauh dari rumah.”

11 Juli 2007

Melampaui Titik Balik.


yang

mati

biarkan

mengubur

dirinya

sendiri

: melanjutkan

rajutanrajutan

pelangi

( I take my desire for realiy

because I believe in the reality of my desire)

9 maret 07

Mata Nyala.


Menyalalah wahai mata yang kehilangan kata pada pandangan pertama; biarkan kelebat bayangmu membakar sejumput kerinduanku yang berjejalan nama: untuk kehangusan yang telah dan untuk kehausan yang akan.

Menyalalah…

Asal jangan menyerah!

22 Oktober 2007

Malam yang Menguapkan Dendam.

Kunyalakan lilin bahagia

Pada jejakjejak yang bertebaran

Di seantero tubuhmu

Menanti

Hingga menjadi malam

Yang menguapkan dendam

Sebening cinta

Ketika membasuh luka

Malam yang Beranjak Diam.


Malam beranjak diam.

Menyusun ketidaktepatan tertentu untuk menghasilkan dendam. Tubuhtubuhku digelayuti mimpimimpiku atas nafasnafas yang memburu. Tandatanyatandatanya menulisi pikiranku dengan semacam tinta yang juga tak suci—ada beberapa bayang berasap memakai jubah dengan tubuh yang rebah. Mungkin ketakutan mungkin kegilaan sedang meninabobokannya. Bukan karena perasaan yang tertawa atau sendawa, yang pasti.

Aku tahu itu!

Masih dalam keremangan, semacam pasar malam yang tibatiba saja karam, daundaun dari awan menetaskan hujan yang juga beranjak diam. Spermasperma berceceran dari setiap ucap yang menguap. Susunan bahasa yang kau genggam pun menggelinjang panjang, tanpa kepastian sejauh mana akan bertahan. Langit menengadah. Berselingkuh dengan tanah untuk merayakan kesucian dari lahirnya putraputri jadah.

Masih perlukah perayaan kesunyian yang lain, sayang?

Luka yang Bersemi Dalam Nyanyi.


Dingin

Dalam jasadku bersarang angin

Menangistertawadanjumawa mereka sibuk

Menulisberceritadanbercinta. Tibatiba,

Pancisendokpiring mengiring

Menimbulkan kegaduhan yang menyita

: Hidup masih terus berjalan dengan

Sesekali diselingi dendam

Bagaimanapun bahagianya,

Kesakitan tak pernah diharapkan

bertambah. Tapi pada titik ini

Berhentilah bersamaku memuja dan

Biarkan segalanya menjadi seperti

Apa yang akan terjadi

: Entah hujan entah harus mengejan

Dan hidup tak perlu menangis

Atau ditangisi

Rs. Klaten, duaenam juli 2005