Selasa, 15 Juli 2008

Rythem of The Rain.


Sesenja ini hujan telah membasahi pikiranku. Aku kedinginan dipeluknya. Tak sempat baju kuganti, kesedihan juga telah mengantri membasahi. Aku kebingungan hendak mengenakan pakaian apa menyambutnya. Belum lagi habis kebingunganku, hujan dan kesedihan telah meninggalkan aku dalam kesepian.

10 April 2008

Sleepless Jicek.


kabut merebut

engkau memacu

menuju kebut

“usah tikam kata

pada tanya—juga

gerbang lengang yang

gagal terbilang”

lanskap nafas

menggelap

realita menggeriap

kalap

semuanya tampak

tak genap

Jakarta, 08 Februari 08

Pada Sajak.


—dd

Gigimu menggetarkan

Jurang yang menghujan

Dalam aku

Jakarta, 05 Februari 08

Pada Kenangan.


Mengingatmu

Seperti membaca

Suratsurat cinta yang

Berserakan dari tubuhmu

Yang tak sempat melayu

Menatap setiap

Ucap yang meresap

Ke dalam

Poriporiku

Aku pun

Hanya sanggup menunduk

Malumalu sambil memainkan

Jemariku yang tak

Tahumenahu

Pada kenangan

Salatiga, 23 Feb 08

Merah yang Berdarah.


Kesedihanmu mulai berdarah. Engkau tak sanggup lagi menahan setiap beban yang dimerahkannya. Hanya ada sedikit ruang yang belum sempat tergenang amisnya; namun engkau pun tak lagi memiliki kaki untuk melangkah. Engkau, seperti juga aku, saat ini begitu mendamba kematian yang sangat mudah: menghanyutkan segala yang melekat di tubuh—sebelum tubuh itu sendiri—ke dalam ketiadaan. Menyerah. Terdapat banyak alasan untuk mengakhiri hidup tapi kita hanya membutuhkan satu saja alasan untuk hidup.

Yah, terlalu lama kita disusupi dan dibuai kesepian hingga kita lupa, terlalu lupa, untuk mengakhirinya.

13 April 2008

Menyingkap Kalap.


Hujan jatuh

Kesunyian mengaduh

Tubuhtubuh berlubang

Nyanyian sumbang

Ada yang menggeriap lindap

Lalu cepat merangsak

“Sukma ini kubawa

Serta untuk memayungi kita

Saat rintik hujan menggoda senja.”

Ketakutan tibatiba

Merebutmu

Aku hanya mampu

Ternganga pada sisasisa

Rambutmu terangkat

Jemariku tak sanggup

Menangkap

Engkau tak kuasa

Menutup mata

Perlahan

Kulitku terkelupas

Dan kenyamananmu tandas

“Engkaulah pundak

Yang membawa jenuhku

Mengadu dan meninggalkan abu.

Engkau juga

Yang mengajariku

Menganyam luka. Mulut ini

Terlalu miskin

Kata untuk menggaruk

Kegatalanmu akan rasa.

Pun imaji yang setia menuntut bakti.

Izinkan aku

Untuk tak bersetia

Seperti aku

Yang tak bersetia pada

Malammalam yang diburu,”

Katamu menyingkap kalap

Jakarta, 05 Februari 08

Mengait Janji.


Sesenyap senja yang terbenam

bohlam aku terdiam

mengiringi malam

“makamkan saja gelisah yang demam”

Aksara masih menggigil

diterjang matamata yang merajang

aku diamdiam

memasuki lubang

nafasmu yang hendak karam

“bulu mataku jatuh, tepat di atas hidungmu.

Aku lupa jalan pulang”

Lalu kata menjelma neraka

lalu kelambu merebutmu

lagilagi kita lupa,

samasama lupa:

imaji selalu menjadi lampu yang menghantui

setiap helaan nafas kita untuk berlari

“gigiku menutup

sebagaimana jantungmu yang berdegupdegup”

Jemari kita saling mengait

janji

Jakarta 05 Februari 08

Kamu.

ingatanku atasmu

berterbangan

menggoda

ditaklukkan

—aku hanya termenung simpul

Jakarta, 07 Februari 08

Helai Tak Terbelai.


Jendela matamu menampakan kaca yang digenangi hujan. Kebisingan tibatiba pasang. Cahaya menerobos muka tanpa aksara—tak kulihat rajutan malam yang menghangatkan dendam.

Kemudian saja, inspirasiku memeluk helai bayangmu yang tak sempat kubelai.

Jakarta, 06 Februari 08

Wajah Rajah.


Pada wajahmu tertulis sejenis rajah. Menyusun aksara ironi dengan gerak mulutmu yang serak. Maafkan aku: aku hanya tak tahu harus memulai dari mana

—andai kau juga mampu menerjemahkan frasa yang aku bawa serta.

Senjautamayogya, 30 Januari 08