Minggu, 15 Mei 2011

Suatu Senja, Lalu Kata.




Aku menyusup tergesa. Berjinjitjinjit cepat tanpa suara yang membangunkan malam, yang sedang matang menjaga setiap helaan nafas dari bibirbulan. Kubiarkan jejakku tertinggal mengintip kemesraan mereka membakar libido yang selalu menarik saat dirayakan. Nanti pagi, saat malam dan bulan selesai mengancingi nafas mereka kembali, dan menangkap jejakku yang sedari dini mengintip, jejakku akan meninggalkan jejak.


Sebagian diriku telah berada dalam kereta fajar menuju senja (kembali).


Jogja, 25 Agustus 2009

Kalap yang (ber)Harap.




Aku tertangkap tangan menangisi hujan yang baru saja tiada. Dibawanya tubuhku pada dedaunan sunyi di mana batangnya telah kehilangan janji. Lalu dengan tubuh yang tak lagi utuh aku masih sempat berpeluh,

"Jangan menyerah harapan."




06 Oktober 2009

Kontemplasi Spasi.




menghidupi ilusi, aku kehilangan diri sendiri.

Petapeta yang terbakar menyisakan paradoks kasar. Dunia adalah sesuatu yang selalu subjektif untuk ditakar, kita akan kesulitan memaksa sesuatu berjalan lurus di tengah alur spiral nan terjal.

"Apa yang kita punya?"
"Tak ada. Biarkan apa adanya."

Mimpi yang berguguran akan menemukan sendiri maknanya dalam perjalanan menuju mata yang terbuka. Kali ini biarlah kita hancur, terurai pada tanahjujur.



07 September 2009

Senin, 09 Mei 2011

Kamu di Sabtu Lalu.




Mataku tersedak. Jendeladadaku dibobol rindu. Pada aku.



Indramayu, 09 Mei 2011

Instalasi Kimiawi.

: Mahadythia




Telah dua malam kuerami tubuhmu dalam mataku. Membiarkan jendela telingamu tak tertutup, begitu juga dengan gigimu yang tak sempat mengatup.

Katakata tampak lengang tanpa satu pun aksara yang terngiang: keberanian tak kunjung tanak dalam benak.

"Berhentilah berusaha bahagia dan jadilah bahagia."




Indramayu, 09 Mei 2011

Minggu, 01 Mei 2011

Ruangtamu Matamu.




Dadaku menelanjangi matamu—dengan terlebih dahulu membobol gaun malam yang membungkusnya dalam merah semu. Tanpa sehelai daunpintu pun yang menyelubunginya, dadaku semakin leluasa memasukinya. Menjamah vasbunga, gagangtelepon, mematikan lampu, lalu mengayunkan lidahnya menyusuri kulitmatamu. Hingga pada kedalaman kadaluarsa dari poripori matamu.

Di dalam, dadaku tertegun naikturun. Bukan pada tangan sofakulit yang sedang hormat ke tivi plasma, atau tumpukan dvd di bahu speakeraktif—tapi pada apa yang ditemukannya dalam tanya yang akumulatif.

Dadaku terhenyak, apa yang dirasakannya tadi tak lagi berada di tempatnya. dadaku lupa pada tujuan yang membawanya menelanjangi matamu dan memasuki ruang terdalamnya. Ia tampak hitamputih. Dengan nafas satusatu, dadaku memburu, menciumi jejakjejak isyarat yang berserak.

Di ruangtamu matamu, dadaku menemukan mataku menggelinjang menggumuli waktu—

dalam aku.



Indramayu, 02 Mei 2011