Sabtu, 12 April 2008

Kucing dan Labirinnya.




Jendelajendela dalam diriku kubiarkan terbuka meski mata malam mulai berat untuk terus terjaga. Di dalamnya, di sebuah ruang keluarga dalam diriku, seekor kucing menggeliat lindap dalam mimpinya yang memasuki pintupintu dalam matanya; ia lupa mengucapkan salam. Dengan sedikit penyesalan dan rasa ingin tahu, ia kemudian berjalan lalu entah bagaimana ia telah berada di dalam ruang keluarga dalam diriku menjaga jendelajendela agar tetap terbuka.

Angin menghela nafasnya. Dan dengan gaya seorang peronda tua yang kedinginan, ia begitu saja terlelap dalam daundaun berembun. Ketidaksempurnaan ini begitu erat berpilin dengan jalinanjalinan asmara yang sama sekali jauh dari tandatanya yang dibarengi tandaseru dalam kalimat maupun paragrafparagraf dari TV di ruang keluarga dalam diriku.

Tibatiba seluruh lampu dalam diriku mati—mengerjap sebentar untuk menghela galau, lalu mati. Gelap merebut semua yang ada di dalam diriku. Membungkusnya dengan semantiksemantik yang seperti buaian pagi, lembut dan sejuk sekaligus rapuh; tergolek pasrah dipatuk api dari kompor yang lupa kumatikan.

Sejenak aku teringat akan senja dengan ladangladang yang terbakar geliat kaku dari sesuatu yang tak terungkapkan. Betapa panasnya katakata—betapa tak tertahankannya suarasuara tanpa makna yang mengepung dunia dengan keseksian fonemikfonemik vokal yang tubuhnya dipenuhi oleh rambutrambut ikal, dan aku masih saja menggenggam entah.

Adakah yang bertanya di mana aku?


Tidak ada komentar: