Minggu, 31 Agustus 2008

Kematian yang Menggairahkan.

Di dalam wajah ini tersimpan bibir yang satir, mata yang menyala, hidung yang berkabung, juga pipi yang penuh imajinasi. Masingmasing bagian memiliki alur ceritanya sendirisendiri. Aku hanya mengumpulkan mereka ke dalam rumah agar mereka tidak kepanasan atau kedinginan.

Suatu senja, seseorang bertambang siang mengajakku berbincang di bangku cakrawala. Dengan kopi hangat di dadanya, ia mulai menggelapkan langit.

“Aku berpikir tentang kematian―ia terasa begitu dingin dan sunyi. Satu waktu, aku pernah mengunjunginya di kedalaman cinta tak tertahankan. Dengan gairah membuncah aku mengajaknya bercumbu tanpa kondom. Entah dia alergi terhadap latex, bibirnya tibatiba mengeras.”

“Bagaimana dengan mataku yang menyala?” lirihku.

“Engkau telah cukup memberinya rumah, tak perlulah bersumpah. Katakata tak cukup mampu membawa terang pada gelap yang mengantarkan mereka lelap.”

Saat malam menghitam, aku melihat bibir, hidung, jug apipi sedang bergumul nikmat dengan kematian.

“Ambilah! Kebahagiaan terlalu panas sendirian kuremas.

Porong, 27 Agustus 08

Kamis, 28 Agustus 2008

Melahap Malam.

kulahap malam
hanya demi sedikit kelam
yang terlalu bercahaya
di sudut pilu demam

"jemariku bergetar
nanar menjamah desahmu
yang bertubuh kekar"

sepi beranjak senyap

"aku" melenyap

surabaya, 01 Juli 08

Sabtu, 23 Agustus 2008

Biografi Kesunyian.

Aku berharap bertemu wajahku dalam gelap yang menyergap.

Malam merasuki relungrelung kosong dalam ruangan kelabu, dalam diriku. Mengisinya dengan desahan tertahan hingga membuncah dan tak bisa pecah: sebagian dari diriku mengalun pergi bersama nafas yang menyumpahi pagi. Aku terpendam dalam diammu bersama dendam sesosok tubuh tanpa peluh, juga kesunyiankesunyian tak teraba yang bergentayangan di setiap jerit per detik. Aku teringat kematian.

Tubuhku liat dalam belaian penuh irama yang mengalun tentram seperti seorang peniup saxophone yang begitu jatuh cinta pada sebuah senja. Dengan langkah lindap engkau menghunus kesakitan yang begitu engkau banggakan, pelan-pelan engkau menarik nafasku yang mendesah-desah ke dalam selimut penuh lubang. “Paku-paku pada kepalamu harus dimasukan kulkas, agar tidak lekas karat,” bisikmu.

Aku sama sekali tidak bisa menghentakkan kematian yang menikamku berkali-kali, entah. Dengan tubuh yang meluruh gulungan pasir dari sebuah pesisir aku hampir tak dapat menghentikan mimpi-mimpi ini. Juga dirimu.

“Apakah kebebasan dapat menjamin kematian karena diri sendiri?”

Aku terkesiap dalam mimpi yang masih belum dapat diinterupsi. Kulihat engkau bertebaran pada warna-warna perunggu dari kekalahan manusia atas hasratnya sendiri. Kulihat engkau berjalan mengarungi waktu dengan sebelah kaki dan tertawa menyumpahi pagi. Kulihat engkau pulas tertidur memeluk TV plasma duapuluh sembilan inchi yang menyala—aku melihat diriku sendiri sedang bermimpi dan mencoba melompat dari TV menuju piringan-piringan DVD yang penuh luka. Tapi tetap saja aku tak dapat bangun. Meski telingaku berdarah-darah dan daun-daun berguguran dari mataku—aku belum dapat melihat wajahku.

“Lepaskan dulu kawat-kawat yang melilit putingmu,” engkau mengigau sambil merubah posisi tidurmu yang masih memeluk TV. Font-font yang berkeliaran dalam kepalaku tak kunjung tertangkap oleh mulutku. Kepalaku mengeluarkan cahaya yang berhamburan pada dinding-dinding penuh potongan-potongan kuku, kalimat-kalimat yang keguguran, puisi-puisi tanpa nasi yang menjadikannya bubur, juga manequin-manequin bugil tanpa kelamin.

***

Siang mengerang. Airmata membangun sejarahnya sendiri pada likaliku anatomi pipi, hidung, juga dagu yang melengkung—lalu rebah. “Aku mencintaimu seperti aku mencintaimu,” katamu. Tikus-tikus tak terurus dalam dadaku berdecit terus. Tak menyisakan sedikit harmoni pun pada nadanada mayor untuk menjerit. Di rongga yang lain, kucingkucing yang suka kencing hanya sanggup menganga mengutuki dirinya sendiri sambil bermimpi mendapati hati segar dari balik jeruji.

Angin mati di titik ini.

Engkau menangis dalam alunan nadanada panjang tanpa kejang—aku hanya sanggup terdiam, seperti layaknya malam, seperti kucingkucing dalam diriku yang kaku.

Kulitkulit tubuh dalam tubuhku melepuh. Lalu mengelupas perlahan. Menebarkan aroma anyir kesunyian seorang pekerja korporasi—meninggalkan jejakjejak yang pernah menempel.

--April 2007

Perempuan yang Menuai Badai.

Tubuh senja tampak sungsang pada kalimat yang tanak dalam deru pikiranmu: aksara vokal tergilas kencangnya konsonan yang dibarengi tandaseru. Ruang tamu seketika lengang. Engkau tak sempat menyalakan lampu padahal hari mulai tenggelam. Dengan wajah yang terbalik, engkau berlalu sambil menyimpan segumpal dendam. Memasuki sesaknya kamartidurmu tanpa kelambu.

Hujan sore itu membawamu dengan mata yang terbuka pada hamparan jurang. Lekaklekuk punggungnya mengingatkanmu pada bulirbulir sperma yang menggenang di bibir selangkangan, saat terhempas dari ketinggiannya yang melenakan. Gigimu selalu tampak jika otakmu menemukan kenangan itu dalam kotak ringkih yang berumur dua puluh tiga tahun: perasaan takut selalu saja menjadi yang pertama merebutmu. Bagaimanapun, engkau merupakan pemanjat ulung, meski aku anak sulung. Jika sudah begitu, matamu tak ingin lagi terpejam. Dan engkau akan senang melongokkan kepalamu pada kedalaman jurang yang absurd, dengan keberanian yang sedikit gemetaran menjaga keseimbangan tubuhmu.

“Aku ingin melihatmu tetap berada pada gugusan batas antara fajar dan pagi yang liar,” selorohmu. “Pada batas itulah aku menemukan awan mendung yang menjagaiku dari terik dan sengit yang akan menyengatku. Melihatmu mengulum senyum membuatku melihat ladangladang yang terbakar saat pencari ikan menepi untuk kembali.”

“Aku hanyalah sunyi yang bernyanyi saat yang lain berlari.”

Apiapi yang bergemuruh bersama asap keruh pada ladangladangmu seperti terusir dari lamunannya yang mendayudayu. Matamu berhenti sejenak untuk mengirimkan tanda pada selsel dalam kepalamu. Engkau hanya mampu melihat warna ungu—ungu yang tak terdapat dalam palet warna pelukis-pelukis realis.

Aku pun hanya tetap membiarkan senyumku melaju dalam kecepatan pada saat berada di sebuah gang kecil perkampungan Penjaringan, tanpa senyum ke kirikanan para pemuda dan orangtua yang hanya melihat matahari dalam wujud cuciancucian yang menggantung. Aku tak tahu lagi apa yang sebaiknya aku lakukan, menghadapi kenyataanmu yang seperti itu. Tapi kemudian, aku berlalu. Melewati ganggang kecil yang semakin sesak dengan katakata yang berserakan dari ibuibu yang tak lagi menemukan lapanganbola di ruang keluarga dalam rumahnya—hanya TV yang menyajikan komentator dan semburat warnawarni makeup, lipstik, eyeshadow maupun pesona shampo.

Handphonemu memanggil. Engkau terhenyak dari kerapatan pikiranmu dan kembali pada kenyataan—yang absurd bersengkarut dengan apapun yang melongo. Detikdetik terasa berat mengayunkan tubuhnya. Aku salahtingkah bersama diam yang berwarna hitam.

Sebentuk sungai dengan tubuh yang kurus mengalirkan memori pada dahandahan yang menggugurkan daundaunnya pada jalan raya yang lengang, di samping rumahrumah megah dengan pagar setinggi jempol kaki dajal dalam kisahkisah kyai saat aku ngaji dulu. Lalu tubuhku ingin basah, langsung menyentuh kulitkulitku.

“Kau tahu apa yang aku pikirkan,” suaramu menghilangkan tubuhku yang sedetik lagi menyentuh air.

“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”

“Jangan berlagak seperti merapi yang tampak sehatsehat saja padahal hidungnya memerah karena flu. Engkau telah meyakinkan aku pada lingkaranlingkaranmu berpijak yang dulu kuanggap angin putingbeliung. Sekarang, tunjukan padaku di mana kau membuang kaosmu saat aku ingin kau memakainya lagi.”

“Jangan biarkan aku tampak seperti orang asing yang terasing di negeri yang asing. Aku hanya ingin membiarkan hasrathasratku menjelajahi relungrelung ramai yang selama ini tak memberiku tempat berkontemplasi: aku tak ingin lagi memendam sunyi yang akan pecah menjadi berkah bukan bagiku. Biarkan aku menikmati sisasisa makanan yang menempel di jemariku: aku cukup tahu kapan aku akan tidur, walau ayam jantan telah berkokok.”

Hujan lelah mengejan. Malam mulai mematikan lampulampunya yang memerah.





***



Aku meninggalkan nafas tepat pada pagi yang berserakan di seantero tubuhmu; panasnya membuaimu untuk tak segera terjaga. Kamarmu masih berbentuk segitiga. Sisanya membangun kenangan sendiri untukmu. Untukku. Dan membiarkanmu menjadi seperti apa yang engkau inginkan.

Aku mendapatimu telah lepas dari peraduan; hanya sisa nafas yang panas. Sepertinya pagipagi benar kau meninggalkan serakan kenangan di kamarku. Bahkan aku tak kuasa membawa tubuhku menuju dapur dan cucimuka. Semalam adalah kutukan pikiran. Aku tak sanggup menelurkan kata untuk menjadi seperti apa yang aku inginkan.

Sebenarnya aku tak ingin membuatmu menimang airmata; seperti aku yang tak ingin engkau membesarkan kesedihan. Matamu adalah buaian senja bagi demonstran yang tidak menginginkan revolusi yang tidak memiliki nada untuk menari.

“Ah, biarlah aku tetap di sini saja, toh matamu tak akan memandangku dari bawah.”

Orangorang telah bergegas untuk menjadi anakanak panah yang kadang tak tahu kemana harus menancap. Hanya dengan menghafal namanama atau memegang PDA, setiap orang dibohongi untuk menjadi bahagia. Dunia ini telah terlalu sesak dengan kekosongan yang absurd: orangorang tak tahu lagi mana yang dada mana yang payudara—setiap hal memiliki ketidakmampuannya sendiri untuk menguraikan asalmuasal. Kecuali barcode.

Ah, tetap saja aku bersedih.

Mengingatmu mengenakan kacamata dengan bibir atas yang min satu dan bibir bawah yang silindris dua, aku seakan jernih melihatmu di satu sisi. Lambaian tanganmu yang menggapai tubuhku memasuki malammalam panjang dengan meremmelek, desah tidurmu yang membawa nampan penuh makanan, pun belaianmu yang serupa takbir, yang membuatku segera mengambil air untuk mandi dan memakai pakaian baru.

“Jika saja kita cukup punya kata, sayang.”

Aku hanya tak ingin menyanyikan lagu lama sambil berharap akan menjadi hit kembali. Suaraku memang tak mampu untuk itu. Tapi, aku memang benarbenar mencari chordchord yang berbeda—pikiranku tak sesempit itu, aku tahu tak ada yang benarbenar murni.

Ini bukan sekedar masalah ekonomi atau engkau yang ingin aku menjadi ayah bagi anakanakmu. Masalah kita tak sehitamputih kotak catur. Engkau tahu ketakutanketakutan yang menyatroniku, juga api yang kugunakan membakar sampah plastik kita yang membuncah. Kita hanya tak perlu menatap mereka jika masih meratap—meski mereka mempunyai kemilaukemilau janji.

Nanti, aku akan menjengukmu dalam penjarapenjara yang engkau percayai sebagai peraduan ternyaman.

Rabu, 20 Agustus 2008

Merayap Lelap

Ada kesedihan yang pelan
Menyelinap di tengah
Deru kereta

Sesuatu yang membuat aku
Merayap sampai lelap

Aku merindukanmu.

Juli 2008

Sebab-Akibat? Aku Memilih Pilihan.

Ada gemuruh sebelum hujan luruh.
Ada sakit sebelum harapan bangkit.
Ada sunyi yang menari sebelum inspirasi.
Ada katakata yang mengikat sebelum kiamat.

Aku melihat senyap memasuki
Jantung malam di suatu tempat
Yang menjemput kiamat.

Lambungnya telah lama memendam
Marah di samping tong sampah
Yang tak jera diserapah.

Ada yang hilang sebelum kebaruan menjelang.
Ada yang berbisik sebelum amukan menjadi berisik.
Ada geriap sebelum imajinasi meruap.
Ada pilihan untuk tidak menjadi korban.

Terlalu lama hidup redup
Hanya karena bis peradaban
Luput menjemput.

Terlalu lama mesin rajin
Menemani polisi dalam kepala
Yang memenjara jiwaraga

Saatnya berkobar, dan yang terlihat hanya cahaya!

Kaliandra, 14 juli 2008

Menghirup Hidup

Si Merah sedang berwarna ungu, tadi malam yang haru. Pada alisnya terdapat rumput hijau ngelangut—membawa laci kenangan yang sempat berkarat. Mungkin ia ragu membukanya. Tapi mungkin dirinya telah ditelan tandatanyatandatanya yang subur dalam kelembaban alis berumput hijau.
Ia telah seumuran lumut di mulut katakata. Menggemari ketakutan hanya karena ketakutan adalah tempat sunyi yang bisa membuatnya menjadi besi. Sejak VCD bajakan menempati ruangruang kantongnya, ia jarang sikat gigi saat pergi mengaji. “Orang perlu mencinta untuk hidup,” katanya, sebelum jemarinya berujar, “orang perlu berjuang untuk mencinta.”
Saat matahari berjanjak lari, ia memilih masuk lemari. Tidak. Tidak. Aku tahu betul ia tidak takut menghujani siang dengan erang. Ia hanya memerlukan sejenis inspirasi di hari kamis untuknya terjaga berjamberjam kemudian. Di suatu tempat bersegi empat, ia akan menjagai tubuhnya dari pudar yang mengejar, sampai si Merah berpusar di antara jera untuk kembali merasa.
“Sebab ungu tak perlu menjadi biru untuk terus melaju.”
Di bawah trotoar: pantai!

Kaliandra, 14 Juli 2008

Lemas Meremas.

Tibatiba gelap
Menyergap

Mataku berputar
Hujan darah segar

Lututku lemas
Rapuh meremas

Aku terlalu malu

Entah!

Agustus 2008

Kembali berlari.

Pilihan membuat aku tak ragu menghantui masa depan—tak ada harapan pada kenangan! Tak ada jalan kembali di tengah dunia yang terus berlari.

Kaliandra, 14 Juli 2008

Entah yang Menyejarah.

Senja yang terbakar pada matamu belum juga redup. Orangorang berlari meninggalkan sesuatu yang ada tanpa sanggup kembali. Di salah satu titik, salah seorang dari kumpulannya terjatuh. Ia tak sempat mengaduh. Dengan sekujur tubuh yang pucat ia mencari tempat teduh—ia lupa sholat subuh!
Tak lama, salah satu pohon dalam ingatannya rubuh; menimbulkan gaduh. Hanya ada titiktitik cemas dalam saku bajunya. Itu pun telah jenuh. Ia tak tahu meski melangkahkan kemana jarijari kakinya yang telah melepuh.
“Risau ini tak dapat menyelamatkanku. Risau ini tak mampu meredam dendamku.”
Dengan kepastian emansipasi, ia menoleh sejenak ke belakang untuk kemudian meninggalkannya menuju entah yang menyejarah.
“Aku memilih pulih!”

Porong, 26 Juli 2008

Elegi Bagi Diri.

masih dalam
tandatanya
sepucuk kalimat
terbang
mengisi cakrawala

mereka
hanya Ingin
lepas
dari
tandakutip

Porong, 27 Juli 2008

Cerita Kereta.

“Aku mengagumimu
seiring kereta yang merayap
meninggalkan jejak.”

berada di antara jendela
dan iklan yang bertebaran ilusi
riakriak sedih dari matamu
mulai mencair

—jangan tersenyum!

harapan terasa begitu manis
mengkristal di selasela gigimu
juga hasrat yang melepas karat

aku mendengus
mengembalikan diri
ke dalam sunyi
membiarkan sesuatu
menjarakkan aku dan kamu
yang masih setia berhadapan

—sampai stasiun menurunkanmu
aku masih mengagumimu

Surabaya-Porong, 24 Juli 2008

Akumulasi Harga Diri.


Engkau masih bersetia mengubur imajinasi pada tungkai kakimu. Malam semakin mendendam. Katakata menghujani genteng kepalamu—tubuhmu tak mampu lagi menangis.

Bersiaplah! Udara semakin menipis.

Porong, 26 Juli 2008