Sabtu, 12 April 2008

Lanskap Kalap.




Dendamku demam. Meracau seperti kotatua yang kehilangan kelaminnya dipenerasi terusmenerus oleh sejarahsejarah amnesia. Selimut tebal pun tak lagi mampu menghangatkan kegelisahan yang menggigil ini—proyeksiproyeksi imaji berhamburan menembusi celahcelah hampa dari sunyi yang berdalih mati.


Jendelaku harus ditutup; keberanianku mengantuk.

14 februari 07



Luka saja!




Luka saja!

Terlalu lama

Cinta tepat waktu

Jangan lagi

Membiarkannya membuncah

Tanpa mampu pecah

Seperti sesuatu

Yang pernah


Engkau tahu

betapa berartinya untukku


Ahh…

luka saja!

Terlalu lama

Cinta tepat waktu


16 Oktober 2007

Laci Ingatan.




Aku berlari menuju laci ingatan, membukanya dengan ketergesaan pekerja yang terlambat terjebak macet. Dengan satudua tangan sekaligus, aku mengacakacak isinya dan menemukan sepucuk tandatanya terselip di antara kenangan. Seperti api yang luruh di hadapan air, aku tak mampu berreaksi: tak kutemukan apaapa. Masih mematung, aku mulai mendengar gemuruh mendekatiku dengan kecepatan benci yang tak terfilter. Aku dipaksa diam! ketidaksadaran mulai menyusun langkahnya yang tenang dengan pisau terhunus di tangan kanan dan bensin di tangan kiri. Mataku tak mampu lagi melihat meski ia tak terpejam. Merangkak mengendap ia mencoba memprovokasi kalap untuk disingkap. Aku kehilangan beratbadanku. “Jiwaku takkan mampu kau semayamkan.” Tak kutemukan luka membungkusku. Lalu entah, aku telah terbujur pada segitiga yang mengkafaniku. Dalam tanya yang membunuhku dengan tanya.


Rabu, 10 Oktober 2007

Kucing dan Labirinnya.




Jendelajendela dalam diriku kubiarkan terbuka meski mata malam mulai berat untuk terus terjaga. Di dalamnya, di sebuah ruang keluarga dalam diriku, seekor kucing menggeliat lindap dalam mimpinya yang memasuki pintupintu dalam matanya; ia lupa mengucapkan salam. Dengan sedikit penyesalan dan rasa ingin tahu, ia kemudian berjalan lalu entah bagaimana ia telah berada di dalam ruang keluarga dalam diriku menjaga jendelajendela agar tetap terbuka.

Angin menghela nafasnya. Dan dengan gaya seorang peronda tua yang kedinginan, ia begitu saja terlelap dalam daundaun berembun. Ketidaksempurnaan ini begitu erat berpilin dengan jalinanjalinan asmara yang sama sekali jauh dari tandatanya yang dibarengi tandaseru dalam kalimat maupun paragrafparagraf dari TV di ruang keluarga dalam diriku.

Tibatiba seluruh lampu dalam diriku mati—mengerjap sebentar untuk menghela galau, lalu mati. Gelap merebut semua yang ada di dalam diriku. Membungkusnya dengan semantiksemantik yang seperti buaian pagi, lembut dan sejuk sekaligus rapuh; tergolek pasrah dipatuk api dari kompor yang lupa kumatikan.

Sejenak aku teringat akan senja dengan ladangladang yang terbakar geliat kaku dari sesuatu yang tak terungkapkan. Betapa panasnya katakata—betapa tak tertahankannya suarasuara tanpa makna yang mengepung dunia dengan keseksian fonemikfonemik vokal yang tubuhnya dipenuhi oleh rambutrambut ikal, dan aku masih saja menggenggam entah.

Adakah yang bertanya di mana aku?


Kredo.


(didetourment dari naskah tongsampah)



Cinta adalah ketulusan yang diperjuangkan. Ketulusan membuat seseorang membawa keutuhan. Kasih. Tapi bukan berarti tanpa cacat. Cinta mampu datangkan perban tanpa diminta. Hingga cacat itu tak meninggalkan dendam karena infeksi.


Kembali Pulang.

Kembali Pulang



Menemukanmu kembali

Seperti mencumbu bibir ranum

Kekasih senja

Pun petapeta pelarian

Kita yang gelap

Menyisir tiap helai lalai

Dalam pacuan hasrat

Melampaui batasbatas

Normal yang bagi kita

Simfoni kata penuh makna


Otakku mungkin tak lagi terisi

Temboktembok berguguran

Atas bangkai yang tak sekedar basi

Atau ketiakmu yang dilapisi deodoran


Engkau tak harus mengerti

Apa yang selama ini terjadi

Sebab kehilangan

Akhir kesempurnaan

Cukup kita saling mengendurkan

Mur-baut yang dipaksa

Melubangi kita atas kenangan


Jemari kita memang akan membusuk

Seperti halnya katakata

Kita yang menemui muaranya

Tapi kulkas saja akan terbatabata

Menyejukkan geliatgeliat resah kita

Yang mengerang

Yang menggelinjang


Ingin kembali pulang



Sabtu, 06 Oktober 2007


Ke Rumah Puisi.

Ke Rumah Puisi



Engkaulah subuh pertama yang membuatku berlabuh dan membiarkan luka menemui muara sembuh. Pada keletihan sauh yang berlubang gelombang aku mencari buihbuih mimpi yang melangkahi ombak asin maupun lanskap harapan dalam spektrum kenangan. Di sini, di pantai yang masih menyisakan sedikit nyanyian sungai aku hanya ingin melantai membiarkan angin merestuiku memerangi pagi yang dingin dengan jemari kita yang saling memilin.


Menuju rumah puisi.


23 September 2007

Interlude Gelap.

Interlude Gelap



Aku pun terlonjak.

Beberapa sisi dalam tubuhku ternganga: kursi, jendela, serta ketakutanketakutan akut tak lagi tertanam dalam tempatnya semula.

Sesuatu yang gelap sedang merayap dengan kecepatan yang kalap.”

Ketidaktepatanketidaktepatan tertentu sedang menyusun kalimatkalimatnya sebagaimana sebuah puzzle mengambil tempatnya dalam kehidupan yang perlahanlahan menggali kuburnya sendiri. Mimpiimaji mengolah nadanada mayorminor menjadi sebuah alunan melodi yang tak kenal berhenti.

Aku dimanipulasi oleh hasrathasrat, yang karat meminta serat.”


Pagi yang belum genap berjalan melengkapi sudah jeritanku yang kaku.



[Sabtu, 23 Juli 2005; 05:37:06]

Kalap.

Kalap



Puisiku pecah

Berserakan

Di tanah

Merah

Dalam dirimu



Sabtu, 01 September 2007

Insomnia

Insomnia



Tubuhku menggigil

Aku coba memanggil:

Aku hanya ingin terbenam dalam

Pelukan yang bernyanyi ninabobo


Sabtu, 06 Oktober 2007

Harap yang Lelah.

Harap yang Lelah



Pun aku tetap telanjang dalam patahanpatahan yang mengguncang. Berbisik lirih pada angin yang seketika membisu, pilu. Mungkin perih tak akan pernah terkikis.

Biarkan darah ini menangis. Bersama suara yang makin menipis, untuk terus memujamu. Hingga akhirnya aku tak lagi dapat membayangkanmu. Walau hanya secercah. walau tak lagi berdarahdarah.

Dalam harap yang lelah.

Homesick.

Homesick



Adalah sudut-sudut lengang yang serentak mengepungku di berbagai seantero tubuh. Semacam hening mengiringi perasaan yang begitu membuncah tak sanggup pecah. Aku mencoba mencari tanya, yang semoga saja terselip di antara sedikit kata yang tersisa di laci kenangan: aku menuju rumah dengan ramah melalui pekarangan tak terurus, juga pintu yang mulai tampak kurus. Kembali aku diterjang kehilangan yang sangat. Kakiku pudar, aku ingin segera terkapar. Sepertinya ada yang lama kulupakan.


Tanganku memasukinya.


Rabu, 10 Oktober 2007

Goyah

Goyah



Maap, ada kamer kosong ga

Buat nitipin badan barang dua/tiga hari?

Gumintang lagi ga lengang

Buatku mengerang:

Kakiku lagi payah

Untuk melangkah niy,,,


Rabu, 04 Juli 2007

Hujan Diam.



Pada lanskap tubuhmu darahku menguap menjadi butir-butir kegelisahan yang terburai di kejauhan, saat senjakatakata menjadi melata kehilangan matakakimatakakinya. Pun hujan, masih memainkan lakon tanpa sutradara: mengendapkan kesunyian yang ramai pada mulutmulutku tanpa membuatnya ungu.


Inilah aku: sesobek kenangan tanpa sosok.”


Dalam malammalam panjang kelahiran yang prematur, yang menjadikannya niscaya. Dalam riakriak pendek imaji yang tak sempat ejakulasi, yang menjadikannya miskin persepsi.


Memutuskan secarik pengkhianatan yang seksi lebih baik daripada berdiam diri dalam hujan.”


Satu dari mulutmulutmu membentuk vokal yang ikal.


Hujan belum juga berhenti.



Yk, 28 feb dinihari o6









***

Kita tidak menginginkan sebuah kebahagiaan di mana jaminan untuk tidak mati terkekang membawa resiko kematian karena tidak ada lagi perduli.”

Fragmen Ingatan.

Fragmen Ingatan



Purnama menelantarkanku

Pada sunyi yang menjeritjerit

sebuah ingatan tentang malam

sebuah ingatan tentang tubuh

sebuah ingatan tentang janji

sebuah ingatan tentang hidup

Ah, kau bisa romantis juga.”

Setiap yang menyerah selalu terdengar romantis.”

Ceritakan padaku tentang tidurmu.”

Tak bisa. Aku tak sedang menggenggamnya.”

Aku ingin sekali membuat jendelamu bersinar.”

Apa ini, parade kesempurnaan?”

Bukankah setiap orang selalu ingin tampak sempurna?”

Jemputlah kematian!”

Apa...?”

Ia adalah titik akhir dari semua yang pernah kita ketahui.”

Kau merindukanku!”

Wanita selalu bisa melihat yang tak terlihat.”

Katakan!”

Karena aku sudah pernah merasakan bahagia dan derita; semuanya tampak terbuka.”

Itulah gunanya teman; hidup.”