Minggu, 16 Desember 2007

E j a.




Jemariku mengeja namamu: kata, cinta, maupun tubuhmu. Dalam pengucapannya yang remang kukukukunya mencari petapeta perjalanan kalap yang tak tersingkap. Juga bulirbulir peluh yang menjadikannya utuh.

Pada tanganmu yang termenung lalu aku menemukan pantai, alkohol, dan puisi.

Diam.


Selasa, 09 Oktober 2007

Di Sinilah Aku.




Tubuhku berlubang

Untuk memeluk tubuhmu

Yang telanjang: di dalamnya

Puingpuing mengangkang

Menanti badai

Penetrasi

Masuklah kembali

Pada sarangmu—di luar

Terlalu dingin

Tubuh telanjangmu bukan tongsampah

Bagi rumahrumah

Yang sedang menggugurkan

Gentenggentengnya


Aku di sini saja


Di Sanakah Engkau?




Seratus tubuh menggerayangi sepuluh bayang berlubang. Orangorang lelap dalam desah yang menggeriap, berharap sesuatu menetas dari posisi tidur yang tak memberi nyenyak.

Apakah itu, yang berwarna merah di kejauhan malam?”

Adakah ia cahaya?”

Atau sekedar ilusi cahaya?”

Ingin rasanya membuka pintu memasuki kamar dalam diriku untuk sekedar menghela nafas. Sesak ini begitu mendesak. Sambil merebahkan lelah, sejumput anggur merah sepertinya dapat menjadi teman berbicara dalam banyak aksara.

Sial, aku lupa di mana aku taruh kuncinya.

Mimpimimpi bergentayangan. Penasaran tak mampu melanjutkan takdir pada gerak menjauhi titik nadir.

: tak ada engkau di sana.



Di Luar, Siang Telah Mengerang.




kemana ajah kamu?


Aku tetap berada di dalam sini

Mengakar bersama tanah

Dan udara;

Aku merasa dibuai

Menuju surga

Mataku seolah baru terbuka

Kesakitanku terhempas

Berkepingkeping

Kamu akan selalu menjumpaiku

Tetap akan menemukanku

Pada ujung garis terjauh

Kesendirian

25 februari 07


Dengar Dirimu Tertawa.




Terucap salam bagi siapa pun yang mendendam: dosa ini akan selalu basah.

Dengar dirimu tertawa, dan biarkan rasa sakit membuatmu menjadi lebih kuat. Untuk rindu dan cinta ini.”

Pisau mengerjap, membelah cahaya dari keremangan malammalam tanpa fasilitas imajinasi. Terlebih dahulu memberi senyum, melafalkan tawatawa menjadi untaian demi untaian cerita tanpa tanda di sekitaran luka. Lelah mulai rebah. Akarakar yang biasanya terinjak mulai berkelakar memenuhi ronggarongga yang lapar.

Dunia apakah ini, di mana aku hanya dapat merasa damai ketika bola mataku putih oleh letih?”

Langit tak selalu menjadi kutuk. Apa saja yang telah kau lakukan dalam barisan katakata dan derap langkah yang tak kunjung pecah? Sebab hidup telah menjadi trend yang absurd—sekedar menatap bayangnya pun serasa telah memeluknya ribuan siang.

Akh, engkau tetap saja ceria, meski artefakmu sendiri menuju retak—statis tanpa mencoba menangkap setiap ucap yang meresap dan setiap jawab yang menguap.

Selamat malam…

Cahaya Terbuka.




Biarkan bibirmu terbuka;

Aku melihat cahaya

Dengan lindap

Lidahku bergetar

: ingin berbaring

Pada sofa dalam

Gigigigi gerahammu



Bisumu Membutakan.


__tongsampah



ah, engkau

masih saja terdiam

pelukanku demikian basah

oleh hujanhujan

yang rebah

aku kedinginan


engkau tak juga kunjung bicara

: hasrathasrat berlarian

mencari tempat berteduh


aku lupa pada kacamata

cahaya ini bikin buta

ah, engkau,,,

19 februari 07


Bisumu Membutakan II.




Tubuhku rubuh.

Sedari tadi aku menunggu

Kata yang tanak

Dalam benak.

Mendung keburu

Memburu.

Hujanhujan

Tak kuasa kutepiskan

dinginnya merenggutku.

Lidahku pun resah.


Aku basah.

19 februari 07


Berjuang Adalah Terus Berjalan.




Hampir semua yang hidup menertawaiku, “Bodoh!” hanya karena makan dengan tangankiri—mematahkan kedangkalan mekanis yang membuat pantat dunia serupa dengan muka berjerawat.

Tentu saja aku bergeming dengan tantangan untuk diterima dan tertawa pada mata yang buta.

Terus berjalan tak akan membuatku jauh dari sauh. Setidaknya aku melihat lanskap lain yang mendekati lengkap.

Jika papahku terus mengatakan apa yang harus, berjalan membantuku berpikir lurus tentang siapa yang akan aku urus: hasratku atau sekedar usus yang menggerus halus.


Batang Pagi di Ujung Imaji.




Belum lagi habis sebatang pagi yang kuhisap

Warnawarna dan katakata

Telah mengepung tepat di ujung mulut:
Saling berucap dan menatap

Seperti produksi imaji

Dari industri sunyi


Inilah pilihan

Dari keterbatasan pilihan, sayangku,”

Ucap tangantangan tak terlihat



25 oktober 2007

Jumat, 26 Oktober 2007

Malam yang Beranjak Diam.


Malam beranjak diam.

Menyusun ketidaktepatan tertentu untuk menghasilkan dendam. Tubuhtubuhku digelayuti mimpimimpiku atas nafasnafas yang memburu. Tandatanyatandatanya menulisi pikiranku dengan semacam tinta yang juga tak suci—ada beberapa bayang berasap memakai jubah dengan tubuh yang rebah. Mungkin ketakutan mungkin kegilaan sedang meninabobokannya. Bukan karena perasaan yang tertawa atau sendawa, yang pasti.

Aku tahu itu!

Masih dalam keremangan, semacam pasar malam yang tibatiba saja karam, daundaun dari awan menetaskan hujan yang juga beranjak diam. Spermasperma berceceran dari setiap ucap yang menguap. Susunan bahasa yang kau genggam pun menggelinjang panjang, tanpa kepastian sejauh mana akan bertahan. Langit menengadah. Berselingkuh dengan tanah untuk merayakan kesucian dari lahirnya putraputri jadah.

Masih perlukah perayaan kesunyian yang lain, sayang?

Kisah Cinta Dalam Gelap.


Aku terkubur.

Aku sudah lama terkubur. Engkau mengunjungiku setiap minggu. Setiap kali mengetuk kuburan, aku keluar. Mataku penuh tanah.

Bagaimana bisa melihat, katamu dalam tanya. Aku berusaha membersihkan tanah itu dari mataku.

Bagaimanapun aku tak dapat melihat. Aku tidak memiliki mata, yang ada hanya bolongan.

Dan kemudian, suatu hari engkau bepergian. Jauh sekali. Dan aku tahu, ada yang kau tuju. Mingguminggu berlalu, dan tak ada tandatanda mengenai keberadaanmu. Aku takut untuk merindukanmu, dan berhenti tidur. Akhirnya engkau mengetuk kuburanku lagi, tetapi tenagaku sudah habis karena tak tidur selama bermalammalam dan aku pasti tak sanggup untuk keluar.

Ketika akhirnya aku keluar, engkau tampak kecewa. Engkau berkata bahwa wajahku menyerupai kematian. Aku merasakan betapa menggigilnya engkau karena ngeri—dengan pipiku yang kempot dan gerakan wajah yang gugup.

Maaf, kataku. Aku tak bisa tidur sejenak pun ketika engkau pergi meninggalkanku.

Itukah? Engkau bertanya dalam nada yang purapura gembira. Engkau hanya butuh istirahat yang baik: sebulan liburan!

Terdengar bunyi gemeretuk, bulan jatuh tepat di langitlangit hatiku yang seketika itu juga menjadi beku. Seolaholah aku tak tahu apa yang ada dalam pikiranmu: Satu bulan liburan, berarti engkau tidak ingin melihatku selama satu bulan. Engkau memiliki sesuatu yang lain.

Kemudian engkau meninggalkanku dan aku kembali masuk dalam liang kuburanku, dan sepenuhnya menyadari; bahwa aku pasti tak dapat tidur lagi selama sebulan menunggumu.

Dan ketika engkau kembali, aku akan bertambah seram dan suram menyerupai malam yang beranjak diam, dengan dendam yang ikut bersemayam.

Dan aku tahu: engkau akan bertambah kecewa lagi.

Kembali Pulang.

Menemukanmu kembali

Seperti mencumbu bibir ranum

Kekasih senja

Pun petapeta pelarian

Kita yang gelap

Menyisir tiap helai lalai

Dalam pacuan hasrat

Melampaui batasbatas

Normal yang bagi kita

Simfoni kata penuh makna


Otakku mungkin tak lagi terisi

Temboktembok berguguran

Atas bangkai yang tak sekedar basi

Atau ketiakmu yang penuh deodoran


Engkau tak harus mengerti

Apa yang selama ini terjadi

Sebab kehilangan

Akhir kesempurnaan

Cukup kita saling mengendurkan

Mur-baut yang dipaksa

Melubangi kita atas kenangan


Jemari kita memang akan membusuk

Seperti halnya katakata

Kita yang menemui muaranya

Tapi kulkas saja akan terbatabata

Menyejukkan geliatgeliat resah kita

Yang mengerang

Yang menggelinjang


Ingin kembali pulang

Ke Rumah Puisi.

Engkaulah subuh pertama yang membuatku berlabuh dan membiarkan luka menemui muara sembuh. Pada keletihan sauh yang berlubang gelombang aku mencari buihbuih mimpi yang melangkahi ombak asin maupun lanskap harapan dalam spektrum kenangan. Di sini, di pantai yang masih menyisakan sedikit nyanyian sungai aku hanya ingin melantai membiarkan angin merestuiku memerangi pagi yang dingin dengan jemari kita yang saling memilin.


Menuju rumah puisi.


Kalap.

Puisiku pecah

Berserakan

Di tanah

Merah

Dalam dirimu


Interlude Gelap.

Aku pun terlonjak.
Beberapa sisi dalam tubuhku ternganga: kursi, jendela, serta ketakutanketakutan akut tak lagi tertanam dalam tempatnya semula.
“Sesuatu yang gelap sedang merayap dengan kecepatan yang kalap.”
Ketidaktepatanketidaktepatan tertentu sedang menyusun kalimatkalimatnya sebagaimana sebuah puzzle mengambil tempatnya dalam kehidupan yang perlahanlahan menggali kuburnya sendiri. Mimpiimaji mengolah nadanada mayorminor menjadi sebuah alunan melodi yang tak kenal berhenti.
“Aku dimanipulasi oleh hasrathasrat, yang karat meminta serat.”

Pagi yang belum genap berjalan melengkapi sudah jeritanku yang kaku.

Insomnia.

Tubuhku menggigil

Aku coba memanggil

Aku hanya ingin sebuah pelukan kribo

Pelukan yang bernyanyi ninabobo

Goyah.

Maap, ada kamer kosong ga

Buat nitipin badan barang dua/tiga hari?

Gumintang lagi ga lengang

Buatku mengerang:

Kakiku lagi payah

Untuk melangkah niy,,,

Fragmen Ingatan.


Purnama menelantarkanku

Pada sunyi yang menjeritjerit

sebuah ingatan tentang malam

sebuah ingatan tentang tubuh

sebuah ingatan tentang janji

sebuah ingatan tentang hidup

Ah, kau bisa romantis juga.”

Setiap yang menyerah selalu terdengar romantis.”

Ceritakan padaku tentang tidurmu.”

Tak bisa. Aku tak sedang menggenggamnya.”

Aku ingin sekali membuat jendelamu bersinar.”

Apa ini, parade kesempurnaan?”

Bukankah setiap orang selalu ingin tampak sempurna?”

Jemputlah kematian!”

Apa...?”

Ia adalah titik akhir dari semua yang pernah kita ketahui.”

Kau merindukanku!”

Wanita selalu bisa melihat yang tak terlihat.”

Katakan!”

Karena aku sudah pernah merasakan bahagia dan derita; semuanya tampak terbuka.”

Itulah gunanya teman; hidup.”

Dan.

Ingin masih aku

Membalut aku kalut

Lepas yang kandas

Nama kehilangan bersama

Lengang disetubuhi siang

Mengeja angka tanpa aksara


Dan

Anjing di Suatu Waktu yang Hening.

Anjing berkepala pusing jalan berkeliling mencari tempat kencing. Dengan keheningan yang bening, ia mengeluarkan riakriak sejarah yang selama ini menggelegak. Setelahnya, ia tersentak. Ia mendadak lupa. Pada kesunyian dan keramaian yang membuatnya ada. Pada ketakutan dan kegembiraan sekaligus.

Dengan keempat kakinya ia mencari jejakjejak di seantero ingatannya. Berharap dapat menemukan titiktitik yang mengakhiri tandatanya dalam benaknya, tak juga ia temukan. Dengan langkah tertahan yang masih bertuhan, ia menuju bukitbukit kenangan yang terlipat dalam kelopak matanya. Tapi matanya tak melihat apapun selain genangangenangan air yang mulai membanjir. Ia mulai merasa lelahkalah sekaligus—seperti ingin bertemu kekasih yang menunggu di balik hujan yang tak kunjung berhenti mengejan.

“Lebih baik aku pulang ke rumah.”

Dalam perjalanan ia ditampar kebingungan. Tapi ia terlalu lupa, “Apa yang membuat kepalaku pusing?”

Senin, 22 Oktober 2007

Aku dan Seutas Tali.

Di dalam kepala ini hanya ada aku, kebahagiaan dan seutas tali. Kelak, hanya akan ada yang tertinggal dari semua pilihan—aku, kebahagiaan atau seutas tali. Dan sebagaimana seutas tali, ia hanya akan tersenyum ketika ia berhasil mengikat—entah aku, kebahagiaanku atau tali itu sendiri. Yang aku tahu, aku hanya akan terus melangkah: meski lelah terarah.

Menemuimu.

(Lalu subuh hanya akan beriak dalam kedalaman teriak.)

Minggu, 26 Agustus 2007

Minggu, 21 Oktober 2007

Kumpulan Puisi Contact Info

KUMPULAN PUISI Contact Info

Name: Abigail

Address: Jl. Selamat Datang No. 13

Phone Number: +62856 923 236 XXX

Email: injak_balik@yahoo.com