Minggu, 26 Oktober 2008

Ingatan Kata

Mengingatmu membuatku menemukan serangga dalam hujan yang ternganga. Tak kunjung selesai meski telah berlembarlembar sunyi menemani. Saat menghela nafas, terdapat ketakutan yang siap menghempas. Di saat hampir bersamaan aku juga merasa menemukan kesempatan.

Akh,
Cinta memang tak asyik tanpa kata.


Porong, Oktober 2008

Lingkar Bakar

Jendela matamu setengah terbuka

Aku memasuki pintu keringatmu membawa berjamjam hujan yang lalu lupa mengejan

Lampu telingamu padam


Sebuah kata feminin menghela nafasnya yang berat ditimpa bayi dalam perutnya

Engkau mendesah mencari gagang pintu yang sekali pernah terkunci—petapeta terbakar

Pada ruangruang ternganga bibirbibir kita saling menyala

Bercinta!


Porong, 26 Okt 08

Minggu, 31 Agustus 2008

Kematian yang Menggairahkan.

Di dalam wajah ini tersimpan bibir yang satir, mata yang menyala, hidung yang berkabung, juga pipi yang penuh imajinasi. Masingmasing bagian memiliki alur ceritanya sendirisendiri. Aku hanya mengumpulkan mereka ke dalam rumah agar mereka tidak kepanasan atau kedinginan.

Suatu senja, seseorang bertambang siang mengajakku berbincang di bangku cakrawala. Dengan kopi hangat di dadanya, ia mulai menggelapkan langit.

“Aku berpikir tentang kematian―ia terasa begitu dingin dan sunyi. Satu waktu, aku pernah mengunjunginya di kedalaman cinta tak tertahankan. Dengan gairah membuncah aku mengajaknya bercumbu tanpa kondom. Entah dia alergi terhadap latex, bibirnya tibatiba mengeras.”

“Bagaimana dengan mataku yang menyala?” lirihku.

“Engkau telah cukup memberinya rumah, tak perlulah bersumpah. Katakata tak cukup mampu membawa terang pada gelap yang mengantarkan mereka lelap.”

Saat malam menghitam, aku melihat bibir, hidung, jug apipi sedang bergumul nikmat dengan kematian.

“Ambilah! Kebahagiaan terlalu panas sendirian kuremas.

Porong, 27 Agustus 08

Kamis, 28 Agustus 2008

Melahap Malam.

kulahap malam
hanya demi sedikit kelam
yang terlalu bercahaya
di sudut pilu demam

"jemariku bergetar
nanar menjamah desahmu
yang bertubuh kekar"

sepi beranjak senyap

"aku" melenyap

surabaya, 01 Juli 08

Sabtu, 23 Agustus 2008

Biografi Kesunyian.

Aku berharap bertemu wajahku dalam gelap yang menyergap.

Malam merasuki relungrelung kosong dalam ruangan kelabu, dalam diriku. Mengisinya dengan desahan tertahan hingga membuncah dan tak bisa pecah: sebagian dari diriku mengalun pergi bersama nafas yang menyumpahi pagi. Aku terpendam dalam diammu bersama dendam sesosok tubuh tanpa peluh, juga kesunyiankesunyian tak teraba yang bergentayangan di setiap jerit per detik. Aku teringat kematian.

Tubuhku liat dalam belaian penuh irama yang mengalun tentram seperti seorang peniup saxophone yang begitu jatuh cinta pada sebuah senja. Dengan langkah lindap engkau menghunus kesakitan yang begitu engkau banggakan, pelan-pelan engkau menarik nafasku yang mendesah-desah ke dalam selimut penuh lubang. “Paku-paku pada kepalamu harus dimasukan kulkas, agar tidak lekas karat,” bisikmu.

Aku sama sekali tidak bisa menghentakkan kematian yang menikamku berkali-kali, entah. Dengan tubuh yang meluruh gulungan pasir dari sebuah pesisir aku hampir tak dapat menghentikan mimpi-mimpi ini. Juga dirimu.

“Apakah kebebasan dapat menjamin kematian karena diri sendiri?”

Aku terkesiap dalam mimpi yang masih belum dapat diinterupsi. Kulihat engkau bertebaran pada warna-warna perunggu dari kekalahan manusia atas hasratnya sendiri. Kulihat engkau berjalan mengarungi waktu dengan sebelah kaki dan tertawa menyumpahi pagi. Kulihat engkau pulas tertidur memeluk TV plasma duapuluh sembilan inchi yang menyala—aku melihat diriku sendiri sedang bermimpi dan mencoba melompat dari TV menuju piringan-piringan DVD yang penuh luka. Tapi tetap saja aku tak dapat bangun. Meski telingaku berdarah-darah dan daun-daun berguguran dari mataku—aku belum dapat melihat wajahku.

“Lepaskan dulu kawat-kawat yang melilit putingmu,” engkau mengigau sambil merubah posisi tidurmu yang masih memeluk TV. Font-font yang berkeliaran dalam kepalaku tak kunjung tertangkap oleh mulutku. Kepalaku mengeluarkan cahaya yang berhamburan pada dinding-dinding penuh potongan-potongan kuku, kalimat-kalimat yang keguguran, puisi-puisi tanpa nasi yang menjadikannya bubur, juga manequin-manequin bugil tanpa kelamin.

***

Siang mengerang. Airmata membangun sejarahnya sendiri pada likaliku anatomi pipi, hidung, juga dagu yang melengkung—lalu rebah. “Aku mencintaimu seperti aku mencintaimu,” katamu. Tikus-tikus tak terurus dalam dadaku berdecit terus. Tak menyisakan sedikit harmoni pun pada nadanada mayor untuk menjerit. Di rongga yang lain, kucingkucing yang suka kencing hanya sanggup menganga mengutuki dirinya sendiri sambil bermimpi mendapati hati segar dari balik jeruji.

Angin mati di titik ini.

Engkau menangis dalam alunan nadanada panjang tanpa kejang—aku hanya sanggup terdiam, seperti layaknya malam, seperti kucingkucing dalam diriku yang kaku.

Kulitkulit tubuh dalam tubuhku melepuh. Lalu mengelupas perlahan. Menebarkan aroma anyir kesunyian seorang pekerja korporasi—meninggalkan jejakjejak yang pernah menempel.

--April 2007

Perempuan yang Menuai Badai.

Tubuh senja tampak sungsang pada kalimat yang tanak dalam deru pikiranmu: aksara vokal tergilas kencangnya konsonan yang dibarengi tandaseru. Ruang tamu seketika lengang. Engkau tak sempat menyalakan lampu padahal hari mulai tenggelam. Dengan wajah yang terbalik, engkau berlalu sambil menyimpan segumpal dendam. Memasuki sesaknya kamartidurmu tanpa kelambu.

Hujan sore itu membawamu dengan mata yang terbuka pada hamparan jurang. Lekaklekuk punggungnya mengingatkanmu pada bulirbulir sperma yang menggenang di bibir selangkangan, saat terhempas dari ketinggiannya yang melenakan. Gigimu selalu tampak jika otakmu menemukan kenangan itu dalam kotak ringkih yang berumur dua puluh tiga tahun: perasaan takut selalu saja menjadi yang pertama merebutmu. Bagaimanapun, engkau merupakan pemanjat ulung, meski aku anak sulung. Jika sudah begitu, matamu tak ingin lagi terpejam. Dan engkau akan senang melongokkan kepalamu pada kedalaman jurang yang absurd, dengan keberanian yang sedikit gemetaran menjaga keseimbangan tubuhmu.

“Aku ingin melihatmu tetap berada pada gugusan batas antara fajar dan pagi yang liar,” selorohmu. “Pada batas itulah aku menemukan awan mendung yang menjagaiku dari terik dan sengit yang akan menyengatku. Melihatmu mengulum senyum membuatku melihat ladangladang yang terbakar saat pencari ikan menepi untuk kembali.”

“Aku hanyalah sunyi yang bernyanyi saat yang lain berlari.”

Apiapi yang bergemuruh bersama asap keruh pada ladangladangmu seperti terusir dari lamunannya yang mendayudayu. Matamu berhenti sejenak untuk mengirimkan tanda pada selsel dalam kepalamu. Engkau hanya mampu melihat warna ungu—ungu yang tak terdapat dalam palet warna pelukis-pelukis realis.

Aku pun hanya tetap membiarkan senyumku melaju dalam kecepatan pada saat berada di sebuah gang kecil perkampungan Penjaringan, tanpa senyum ke kirikanan para pemuda dan orangtua yang hanya melihat matahari dalam wujud cuciancucian yang menggantung. Aku tak tahu lagi apa yang sebaiknya aku lakukan, menghadapi kenyataanmu yang seperti itu. Tapi kemudian, aku berlalu. Melewati ganggang kecil yang semakin sesak dengan katakata yang berserakan dari ibuibu yang tak lagi menemukan lapanganbola di ruang keluarga dalam rumahnya—hanya TV yang menyajikan komentator dan semburat warnawarni makeup, lipstik, eyeshadow maupun pesona shampo.

Handphonemu memanggil. Engkau terhenyak dari kerapatan pikiranmu dan kembali pada kenyataan—yang absurd bersengkarut dengan apapun yang melongo. Detikdetik terasa berat mengayunkan tubuhnya. Aku salahtingkah bersama diam yang berwarna hitam.

Sebentuk sungai dengan tubuh yang kurus mengalirkan memori pada dahandahan yang menggugurkan daundaunnya pada jalan raya yang lengang, di samping rumahrumah megah dengan pagar setinggi jempol kaki dajal dalam kisahkisah kyai saat aku ngaji dulu. Lalu tubuhku ingin basah, langsung menyentuh kulitkulitku.

“Kau tahu apa yang aku pikirkan,” suaramu menghilangkan tubuhku yang sedetik lagi menyentuh air.

“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”

“Jangan berlagak seperti merapi yang tampak sehatsehat saja padahal hidungnya memerah karena flu. Engkau telah meyakinkan aku pada lingkaranlingkaranmu berpijak yang dulu kuanggap angin putingbeliung. Sekarang, tunjukan padaku di mana kau membuang kaosmu saat aku ingin kau memakainya lagi.”

“Jangan biarkan aku tampak seperti orang asing yang terasing di negeri yang asing. Aku hanya ingin membiarkan hasrathasratku menjelajahi relungrelung ramai yang selama ini tak memberiku tempat berkontemplasi: aku tak ingin lagi memendam sunyi yang akan pecah menjadi berkah bukan bagiku. Biarkan aku menikmati sisasisa makanan yang menempel di jemariku: aku cukup tahu kapan aku akan tidur, walau ayam jantan telah berkokok.”

Hujan lelah mengejan. Malam mulai mematikan lampulampunya yang memerah.





***



Aku meninggalkan nafas tepat pada pagi yang berserakan di seantero tubuhmu; panasnya membuaimu untuk tak segera terjaga. Kamarmu masih berbentuk segitiga. Sisanya membangun kenangan sendiri untukmu. Untukku. Dan membiarkanmu menjadi seperti apa yang engkau inginkan.

Aku mendapatimu telah lepas dari peraduan; hanya sisa nafas yang panas. Sepertinya pagipagi benar kau meninggalkan serakan kenangan di kamarku. Bahkan aku tak kuasa membawa tubuhku menuju dapur dan cucimuka. Semalam adalah kutukan pikiran. Aku tak sanggup menelurkan kata untuk menjadi seperti apa yang aku inginkan.

Sebenarnya aku tak ingin membuatmu menimang airmata; seperti aku yang tak ingin engkau membesarkan kesedihan. Matamu adalah buaian senja bagi demonstran yang tidak menginginkan revolusi yang tidak memiliki nada untuk menari.

“Ah, biarlah aku tetap di sini saja, toh matamu tak akan memandangku dari bawah.”

Orangorang telah bergegas untuk menjadi anakanak panah yang kadang tak tahu kemana harus menancap. Hanya dengan menghafal namanama atau memegang PDA, setiap orang dibohongi untuk menjadi bahagia. Dunia ini telah terlalu sesak dengan kekosongan yang absurd: orangorang tak tahu lagi mana yang dada mana yang payudara—setiap hal memiliki ketidakmampuannya sendiri untuk menguraikan asalmuasal. Kecuali barcode.

Ah, tetap saja aku bersedih.

Mengingatmu mengenakan kacamata dengan bibir atas yang min satu dan bibir bawah yang silindris dua, aku seakan jernih melihatmu di satu sisi. Lambaian tanganmu yang menggapai tubuhku memasuki malammalam panjang dengan meremmelek, desah tidurmu yang membawa nampan penuh makanan, pun belaianmu yang serupa takbir, yang membuatku segera mengambil air untuk mandi dan memakai pakaian baru.

“Jika saja kita cukup punya kata, sayang.”

Aku hanya tak ingin menyanyikan lagu lama sambil berharap akan menjadi hit kembali. Suaraku memang tak mampu untuk itu. Tapi, aku memang benarbenar mencari chordchord yang berbeda—pikiranku tak sesempit itu, aku tahu tak ada yang benarbenar murni.

Ini bukan sekedar masalah ekonomi atau engkau yang ingin aku menjadi ayah bagi anakanakmu. Masalah kita tak sehitamputih kotak catur. Engkau tahu ketakutanketakutan yang menyatroniku, juga api yang kugunakan membakar sampah plastik kita yang membuncah. Kita hanya tak perlu menatap mereka jika masih meratap—meski mereka mempunyai kemilaukemilau janji.

Nanti, aku akan menjengukmu dalam penjarapenjara yang engkau percayai sebagai peraduan ternyaman.

Rabu, 20 Agustus 2008

Merayap Lelap

Ada kesedihan yang pelan
Menyelinap di tengah
Deru kereta

Sesuatu yang membuat aku
Merayap sampai lelap

Aku merindukanmu.

Juli 2008

Sebab-Akibat? Aku Memilih Pilihan.

Ada gemuruh sebelum hujan luruh.
Ada sakit sebelum harapan bangkit.
Ada sunyi yang menari sebelum inspirasi.
Ada katakata yang mengikat sebelum kiamat.

Aku melihat senyap memasuki
Jantung malam di suatu tempat
Yang menjemput kiamat.

Lambungnya telah lama memendam
Marah di samping tong sampah
Yang tak jera diserapah.

Ada yang hilang sebelum kebaruan menjelang.
Ada yang berbisik sebelum amukan menjadi berisik.
Ada geriap sebelum imajinasi meruap.
Ada pilihan untuk tidak menjadi korban.

Terlalu lama hidup redup
Hanya karena bis peradaban
Luput menjemput.

Terlalu lama mesin rajin
Menemani polisi dalam kepala
Yang memenjara jiwaraga

Saatnya berkobar, dan yang terlihat hanya cahaya!

Kaliandra, 14 juli 2008

Menghirup Hidup

Si Merah sedang berwarna ungu, tadi malam yang haru. Pada alisnya terdapat rumput hijau ngelangut—membawa laci kenangan yang sempat berkarat. Mungkin ia ragu membukanya. Tapi mungkin dirinya telah ditelan tandatanyatandatanya yang subur dalam kelembaban alis berumput hijau.
Ia telah seumuran lumut di mulut katakata. Menggemari ketakutan hanya karena ketakutan adalah tempat sunyi yang bisa membuatnya menjadi besi. Sejak VCD bajakan menempati ruangruang kantongnya, ia jarang sikat gigi saat pergi mengaji. “Orang perlu mencinta untuk hidup,” katanya, sebelum jemarinya berujar, “orang perlu berjuang untuk mencinta.”
Saat matahari berjanjak lari, ia memilih masuk lemari. Tidak. Tidak. Aku tahu betul ia tidak takut menghujani siang dengan erang. Ia hanya memerlukan sejenis inspirasi di hari kamis untuknya terjaga berjamberjam kemudian. Di suatu tempat bersegi empat, ia akan menjagai tubuhnya dari pudar yang mengejar, sampai si Merah berpusar di antara jera untuk kembali merasa.
“Sebab ungu tak perlu menjadi biru untuk terus melaju.”
Di bawah trotoar: pantai!

Kaliandra, 14 Juli 2008

Lemas Meremas.

Tibatiba gelap
Menyergap

Mataku berputar
Hujan darah segar

Lututku lemas
Rapuh meremas

Aku terlalu malu

Entah!

Agustus 2008

Kembali berlari.

Pilihan membuat aku tak ragu menghantui masa depan—tak ada harapan pada kenangan! Tak ada jalan kembali di tengah dunia yang terus berlari.

Kaliandra, 14 Juli 2008

Entah yang Menyejarah.

Senja yang terbakar pada matamu belum juga redup. Orangorang berlari meninggalkan sesuatu yang ada tanpa sanggup kembali. Di salah satu titik, salah seorang dari kumpulannya terjatuh. Ia tak sempat mengaduh. Dengan sekujur tubuh yang pucat ia mencari tempat teduh—ia lupa sholat subuh!
Tak lama, salah satu pohon dalam ingatannya rubuh; menimbulkan gaduh. Hanya ada titiktitik cemas dalam saku bajunya. Itu pun telah jenuh. Ia tak tahu meski melangkahkan kemana jarijari kakinya yang telah melepuh.
“Risau ini tak dapat menyelamatkanku. Risau ini tak mampu meredam dendamku.”
Dengan kepastian emansipasi, ia menoleh sejenak ke belakang untuk kemudian meninggalkannya menuju entah yang menyejarah.
“Aku memilih pulih!”

Porong, 26 Juli 2008

Elegi Bagi Diri.

masih dalam
tandatanya
sepucuk kalimat
terbang
mengisi cakrawala

mereka
hanya Ingin
lepas
dari
tandakutip

Porong, 27 Juli 2008

Cerita Kereta.

“Aku mengagumimu
seiring kereta yang merayap
meninggalkan jejak.”

berada di antara jendela
dan iklan yang bertebaran ilusi
riakriak sedih dari matamu
mulai mencair

—jangan tersenyum!

harapan terasa begitu manis
mengkristal di selasela gigimu
juga hasrat yang melepas karat

aku mendengus
mengembalikan diri
ke dalam sunyi
membiarkan sesuatu
menjarakkan aku dan kamu
yang masih setia berhadapan

—sampai stasiun menurunkanmu
aku masih mengagumimu

Surabaya-Porong, 24 Juli 2008

Akumulasi Harga Diri.


Engkau masih bersetia mengubur imajinasi pada tungkai kakimu. Malam semakin mendendam. Katakata menghujani genteng kepalamu—tubuhmu tak mampu lagi menangis.

Bersiaplah! Udara semakin menipis.

Porong, 26 Juli 2008

Selasa, 15 Juli 2008

Rythem of The Rain.


Sesenja ini hujan telah membasahi pikiranku. Aku kedinginan dipeluknya. Tak sempat baju kuganti, kesedihan juga telah mengantri membasahi. Aku kebingungan hendak mengenakan pakaian apa menyambutnya. Belum lagi habis kebingunganku, hujan dan kesedihan telah meninggalkan aku dalam kesepian.

10 April 2008

Sleepless Jicek.


kabut merebut

engkau memacu

menuju kebut

“usah tikam kata

pada tanya—juga

gerbang lengang yang

gagal terbilang”

lanskap nafas

menggelap

realita menggeriap

kalap

semuanya tampak

tak genap

Jakarta, 08 Februari 08

Pada Sajak.


—dd

Gigimu menggetarkan

Jurang yang menghujan

Dalam aku

Jakarta, 05 Februari 08

Pada Kenangan.


Mengingatmu

Seperti membaca

Suratsurat cinta yang

Berserakan dari tubuhmu

Yang tak sempat melayu

Menatap setiap

Ucap yang meresap

Ke dalam

Poriporiku

Aku pun

Hanya sanggup menunduk

Malumalu sambil memainkan

Jemariku yang tak

Tahumenahu

Pada kenangan

Salatiga, 23 Feb 08

Merah yang Berdarah.


Kesedihanmu mulai berdarah. Engkau tak sanggup lagi menahan setiap beban yang dimerahkannya. Hanya ada sedikit ruang yang belum sempat tergenang amisnya; namun engkau pun tak lagi memiliki kaki untuk melangkah. Engkau, seperti juga aku, saat ini begitu mendamba kematian yang sangat mudah: menghanyutkan segala yang melekat di tubuh—sebelum tubuh itu sendiri—ke dalam ketiadaan. Menyerah. Terdapat banyak alasan untuk mengakhiri hidup tapi kita hanya membutuhkan satu saja alasan untuk hidup.

Yah, terlalu lama kita disusupi dan dibuai kesepian hingga kita lupa, terlalu lupa, untuk mengakhirinya.

13 April 2008

Menyingkap Kalap.


Hujan jatuh

Kesunyian mengaduh

Tubuhtubuh berlubang

Nyanyian sumbang

Ada yang menggeriap lindap

Lalu cepat merangsak

“Sukma ini kubawa

Serta untuk memayungi kita

Saat rintik hujan menggoda senja.”

Ketakutan tibatiba

Merebutmu

Aku hanya mampu

Ternganga pada sisasisa

Rambutmu terangkat

Jemariku tak sanggup

Menangkap

Engkau tak kuasa

Menutup mata

Perlahan

Kulitku terkelupas

Dan kenyamananmu tandas

“Engkaulah pundak

Yang membawa jenuhku

Mengadu dan meninggalkan abu.

Engkau juga

Yang mengajariku

Menganyam luka. Mulut ini

Terlalu miskin

Kata untuk menggaruk

Kegatalanmu akan rasa.

Pun imaji yang setia menuntut bakti.

Izinkan aku

Untuk tak bersetia

Seperti aku

Yang tak bersetia pada

Malammalam yang diburu,”

Katamu menyingkap kalap

Jakarta, 05 Februari 08

Mengait Janji.


Sesenyap senja yang terbenam

bohlam aku terdiam

mengiringi malam

“makamkan saja gelisah yang demam”

Aksara masih menggigil

diterjang matamata yang merajang

aku diamdiam

memasuki lubang

nafasmu yang hendak karam

“bulu mataku jatuh, tepat di atas hidungmu.

Aku lupa jalan pulang”

Lalu kata menjelma neraka

lalu kelambu merebutmu

lagilagi kita lupa,

samasama lupa:

imaji selalu menjadi lampu yang menghantui

setiap helaan nafas kita untuk berlari

“gigiku menutup

sebagaimana jantungmu yang berdegupdegup”

Jemari kita saling mengait

janji

Jakarta 05 Februari 08

Kamu.

ingatanku atasmu

berterbangan

menggoda

ditaklukkan

—aku hanya termenung simpul

Jakarta, 07 Februari 08

Helai Tak Terbelai.


Jendela matamu menampakan kaca yang digenangi hujan. Kebisingan tibatiba pasang. Cahaya menerobos muka tanpa aksara—tak kulihat rajutan malam yang menghangatkan dendam.

Kemudian saja, inspirasiku memeluk helai bayangmu yang tak sempat kubelai.

Jakarta, 06 Februari 08

Wajah Rajah.


Pada wajahmu tertulis sejenis rajah. Menyusun aksara ironi dengan gerak mulutmu yang serak. Maafkan aku: aku hanya tak tahu harus memulai dari mana

—andai kau juga mampu menerjemahkan frasa yang aku bawa serta.

Senjautamayogya, 30 Januari 08

Sabtu, 07 Juni 2008

Titik.

Titik

telah sampai aku

pada semantik kata

yang tanak tak lagi beranak

seiring dingin yang tibatiba ingin

kalimat telah menanggalkan tandabacanya

: usah usik sesuatu yang entah

tegaklah!

Minggu, 17 Juni 2007

Terminal Senja.


Deru mesin bisku

Terdengar mengejar. Tapi tak kulihat perpisahan.

Setanganmu tampak basah.

Tapi matamu tak menggugurkan

Daundaun yang resah. Lalu,

Kau tunjukan padaku

Matahari yang tak sempat berucap,

“Selamat malam.”

Terlalu Lama Cinta Telat Waktu.


Terlalu lama cinta telat waktu.

Pada kelembutannya yang abstrak, utopiaku beradu nyata dengan distopia. Semakin lama menunggu semakin kesadaran ini terganggu. Aku telah menunggumu. Semenjak kita berjanji untuk saling mengait jemari.

Angin mulai risau. Kegelapan berhamburan memenuhi ronggarongga dalam mataku. Pun ketakutan menyergapku dengan kehalusan surealis yang menikam.

Terlalu cepat pagi menjemput rerumputan.

Malam kehilangan ketenangannya yang menyala, menyudahi geliat spontan yang begitu perih mengejan. Selalu saja sunyi menelantarkan kelelahankelelahan ini. Mari rayakan. Semenjak bahasa verbal lupa mengepakkan keringatnya. Kita takkan kehilangan kembali fragmen-fragmen tanpa titik yang membawa kita pada hujan rintik.

Terlalu lama kita berdiam mengulurulur makam.

22 September 2007

Terapi Diri.


Tak ada apaapa di luar sana.

Waktu takan mampu menyembuhkan luka; sesuatu sejenis panci dalam dirimu tak pernah kosong. Setiap desir pikiranmu yang tertuang di dalamnya akan menjelma air panas yang akan kau seduh kopi—membuatmu hangat menepis karat.

Seperti endorphin dari sebuah coklat kegemaranmu.

9 maret 07

Tawarmenawar Dengan Pelacur.


__tongsampah

Buah zakarku membuka tanya

Menanti jawaban lidahmu

Yang menggigil ragu

Putingku mengerjap

Membangunkan malam dengan kalap

Kau terkesiap

Keheningan begitu bening

Menggugurkan matamatamu

Pada jemari lentikmu

Kau terpejam

Kujilati remahremah resah

Yang menggeliat karat

: pelacur mana yang tak punya

surganeraka selain kelaminnya

sendiri?

“Ssstt,,, padamkan suaramu

Kalimat hanya akan memikat

Kiamat.”

22 februari 07

Tanya dalam Rumput.

Tanya dalam Rumput

Dusta adalah tanya dalam rerumputan yang terus menjalar di halaman lengang dalam diriku seperti halnya esbatuesbatu yang mencair pada kulkas dalam nadiku yang meranggas. Jika kau pikir segala senyum dapat berubah merah, bagimana dengan tangis yang seketika sinis? Percayalah, ketakutan ini bukan sematamata gerimis penuh berahi di sebuah senja pada kota tua—dalam diriku.

Ketakutan ini serupa hidup yang terus menerus hadir dalam rupa yang sama; fesyenfesyen lapuk yang menyelubungi matamata nanar yang memandang liar dan terus melaju pada belukar kata dan makna.

Hingga kau terbenam dalam belaian senyummu, aku akan kembali pada rumputrumput yang terus menjalar; menyianginya dan menyeduh sedikit amarah tanpa harus kalah—di ruang keluarga yang hangat dengan sedikit sakit—dalam diriku.

17 jan 07

Tandakoma.


Puisipuisiku

Tanggal

Dari

Batangnya

Memberi

Interupsi

Sunyi

Untuk

Aku

Melangkah

Mencari

Akarnya

: sejauh

Engkau

Mengayuh

Sauh

Tamu Tak Diundang.


“semboyan setiap penulis:

gila aku tidak bisa

waras aku tidak pantas

bisaku hanya neurotik”

--Roland Barthes

tibatiba cemas menyelinap

ke ruangtamu yang pengap

—dalam diriku

sepertinya ia masuk

lewat jendela telinga

yang kubiarkan terbuka

duduk di sofa ia menyalakan TV

dengan secangkir kopi

sambil menyeruput iklan

tentu saja aku terganggu

beringsut dari tidurku

yang malumalu

lalu keluar kamar

menuju kulkas

sedang apa yah kamu

di dalam?

(kemarilah masuki pelukanku

aku menantimu)

22 februari 07

Sudah.


Aku putih menyerpih

; bersama hujan yang tak merintik

perih. Dosaku

berlalu menjadi payung

biru dalam lingkaran

syahdu.

Sudah. Biarkan menyala

: menyongsong pelangi

bujur sangkar

menepi

bdg, 14 feb o6

Seringai Merah Jambu.


Serupa bening yang mengiringi hening, ia kembali pada titik sebelum resah mengulumnya. Masih menggenggam aspal dan kacakaca, ia bernyanyi lirih. Sampai mulutnya tak mampu mengeluarkan aksara apapun—hanya bentukbentuk rongga yang menggeliatliat.

“Kita mungkin tak perlu apapun untuk mati.”

“Bahkan sekedar alasan?”

“Mati memiliki logikanya sendiri.”

Senja lalu menciumku seperti kekasih yang lupa jalan pulang. Menatap terus ke depan. Sekaratnya dan sekaratku bertabrakan. Kita terpental menjelajahi kebisuankebisuan vibrasi televisi. Sekarang, kita benarbenar tak tahu berada di mana.

“Setidaknya, mati bukan mitos.”

Hidupku di dalam diriku yang hidup bersama diriku menyeringai. Merah jambu.

Senin, 06 Agustus 2007

Senyawa Rawa.


Sesenyap melepas asap ke kuburan terdalam dari kedipan yang merajam, aku terengah menghadap kalap. Hembusan nafasmu mengalunkan birahi kotatua yang merasa sunyi dihadang renta. "Adakah kata tanpa aksara?"

Jemarimu melentikkan api yang gemericik ke dalam tubuhku. Sedang rapuh begitu manja menjajakan gelegak yang belum lagi tegak. "Jika kamu mengatakan senja titisan tiada, asyikkah kesendirian?"

Mata kita samasama mengejan, membiarkan sesuatu yang tak ternalar memainkan nadanya. Dan telingatelinga kita saling mencari.

Minggu, 17 Juni 2007

Senja yang Lepas.


Senja bukan saja telah mencampakkan aku dan memaksakan terang yang mengerang. Senja juga yang memasukkan mesinmesin pemintal ke dalam kepalaku dan membuat hidupku berdetak seolah bom waktu. Saat aku selesai mencuci tanganku, anggota tubuhku yang lain merengek seperti mobil derek.

“Aku sudah cukup lelah.”

Dalam jalan raya yang penuh kemacetan juga perasaan waswas terhadap rambu lalulintas. Orangorang saling bergegas menuju entah yang terarah. Juga kulitkulit yang mengelupas dan mencoba menempatkan daun pintu pada posisi yang pas.

“Apakah hidup hanya berarti bertahan redup?”

23 September 2007

Sekarat Sajak.


sajakku

sekarat

pada

jejak

kalimat

dengan

tanda

serumu

aku

berkarat

09 maret 07

Seize The Day II.


Engkaulah

Malam panjang tanpa

Waktu yang mengulum

Gumintang menjadi

Tampak usang untuk

Diucapkan puisi

Dari

Kegelapanmu

Seberkas telaga

Memancarkan geriginya

Yang dahaga

Akan belaian purba

Menggairahkan

—memintamu menjulurkan

Lidah untuk mengecap

Orgasme tanpa titik

Dari

Kesahduan tubuh

Utuh yang berpeluh

Hiduplah sayang

Pada getargetar

Yang menggelinjang

Seize The Day.


I

Jika jemari kasarmu

Melentik dengan lilin yang gemerlap,

Jika mata merahmu

Tersenyum dengan cahaya marun,

Jika hidung pesekmu

Memancung dengan plastik yang gemericik;

Biar kubasuh lukamu

Dengan liur yang sedikit berpuisi.

Ketakutan ini adalah pagi

Yang tak ingin memecahkan embun

Pada dedaunan rimbun.

Agar mati kelak

Tak menghadirkan hidup yang tak terhidupi.

II

Jika hening membuatmu gusar

Pada matahari yang terbit dari pusar,

Biarkan katakataku meluruh

Dan membuat dewa cinta terbunuh:

Sudah seharusnya ia mendapat tempat

Di keranjang segiempat.

Jika kebenaran menyelimutimu

Dengan cinta Oedipus pada ibundanya,

Biarkan rasa bersalahku menggilas

Ayahnya yang mati

Untuk kesekian kali.

Tatap kesedihanmu yang meratap.

Engkau tak perlu menjadi benar

Dalam disiplin barisan,

Cukuplah menjadi pemberani

Bagi kematian yang kau persiapkan.

Seikat Kata (yang) Tersirat.


Engkau menulisi pikiranku;

Dengan awan dengan

Hujan, ciptakan kubangan

Tempat mandi

Bagi diri yang bernyanyi

Sambil menari menyumpahi

Pagi—

pada lanskap yang telanjang

memanjang

seolah sedang membangun

katakata

yang dapat terbang

melintasi baitbarisrimairama

menjadi

makna

lalu, membiarkannya

dihembuskan angan

;menyerpih melepas perih

Engkau menulisi pikiranku;

Dengan langit dengan

Mata yang menyipit

Pada baris pertama,

Engkau

Memberinya judul

Seikat kata yang tersirat

Sebuah Subuh di Peron Imaji.


Pada stasiun imaji

Katakataku menjelma

Harapharap cemas

Yang emas

Membelah setiap huruf A menjadi

Alphabet – sampai Z

Untuk sampai dirimu

(nogosari I – 21 Jul. 06)

Sebuah Cinta Terkapar, Kubunuh!


Lalu engkau terpaku

Pada pahatanpahatan masalalu yang bisu

“Bisakah kau matikan suarasuara itu?”

Cukup sudah berdarah

Menjadi patahanpatahan lelah

Engkau menyeringai diterjang waktu

Lalu engkau mengigau

—dan aku mendesau

“Sampai di mana kita?”

Selasa, 04 September 2007

Sebening Hening.


Senja katakata terburai

Gemulai senyummu

Selaksa madu

Meninggalkan jejakjejak

Di seantero sukmaku

Hingga ia menjadi lekang

Aku hanya tak ingin hilang

: setidaknya tersangkut

Langkah kecil dari mimpi

Yang kau hendak angkut saja

Sudah cukup merebahkan lutut

Sebening hening

Kala sang pecinta

Mengalungkan bahagia

Pada leher kekasih

—Menghempas kulitkulit yang terkelupas

Minggu, 26 Agustus 2007

05:28:50

Sambil Menunggu Hujan Berhenti.


Pada lukanya yang ungu aku berseru, sedingin apakah engkau wahai sakit yang berkelambu hingga engkau tak lagi berkuku? Terdengar diam yang masuk angin: pameran kejijikan dan kesetiaan yang bertubitubi sekaligus. Lalu, dengan tubuh yang bergetar di satu sisi dan dengan muak yang pucat di sisi lainnya, ia muntah: seperti mengeluarkan nanah dari luka yang telah mengering, keputusasaan dapat menjadi pengiring makan malam yang dusta dan membiarkan bahagia mengambil perannya sebagai pengenyang yang tak pernah menemui titik kenyangnya.

Dan aku masih melamun lama hingga hujan reda.

Pisau dalam Diriku.


Pisaupisau dalam diriku mendesau, tanak oleh gelisah, lalu beterbangan menuju suasana penuh igau. Ditempatinya suasanasuasana tersebut dengan ketakutan seorang tiran terhadap debudebu perlawanan.

Aku tetap saja bermain manja meski tidur tak memberi keramahan laiknya sebuah kasur. Tak heran memang: rindu ini selaksa hujan gerimis di suatu senja dengan pelangi yang memayungi, pun bau tanah yang mengilhami.

Belum juga tuntas desau pisaupisau dalam diriku, juga senja yang dipayungi pelangi, aku telah ditikam oleh dendam dari suatu masa yang padam oleh suatu entah.

"Matikan semua cahaya: biarkan aku menjadi cahaya!"

Persetubuhan Tandaseru.


Katakataku berguguran pada kukukuku kakimu dengan buah zakar yang membuka. Juga lubang pusarku yang terkelupas hampir lepas. Dunia ini bongkahan altar—pada rambutrambut halusmu kuhisapi angguranggur yang berkelakar.

Matamu tersenyum, menyunggingkan sesosok tubuh tanpa masa lalu yang rapuh. Dengan hidung di kaki dan gigi di jarijari. Berjalan mengeja malam untuk menghafal kelam—liat menggeliat.

Jika mimpi adalah ilusi maka ilusi hanyalah mimpi aksen

: sehangat bermalam di desahmu yang menyengat.

Perjalanan Malam.


Derit mesin tua yang gemericik mengganjili sudah gerak tarian hujan. Malam terbunuh. Sepi berhamburan meloncati tubuhtubuh melepuh dalam mimpi bersauh. Kita lupa berharap. Kita lupa pada hasrat yang membuat kita genap sebelum dicerabut lelap. Markamarka yang berserakan memberi murka. Tandatanda kehilangan rupa. Arwah penasaran sang malam menjengukku dan mengapit lenganku.

Mungkin kita akan sampai sebentar lagi. Tapi bukan cinta, sepertinya. Karena aku tidak melihat kata yang berkacakaca.

Selasa, 06 Nopember 2007

Perikecilku.


Rangkaian senyummu masih merambati detak geloraku yang teronggok kaku dalam kulkas tanpa lampu. Pada garis lurus pipimu aku menemukan jurang dengan aroma gunung dan nyanyian burung

—tentu saja terdapat juga rapuh yang subuh di sana.

Tapi kita sama sekali tak membutuhkan papan iklan dalam masa depan yang belum lagi tertulis. Langkahkan saja: mengeja kalimat perfonem dengan merem

—secantik cinta tanpa tanda petik.

21 Oktober 2007