Minggu, 26 Oktober 2008
Ingatan Kata
Akh,
Cinta memang tak asyik tanpa kata.
Porong, Oktober 2008
Lingkar Bakar
Aku memasuki pintu keringatmu membawa berjamjam hujan yang lalu lupa mengejan
Lampu telingamu padam
Sebuah kata feminin menghela nafasnya yang berat ditimpa bayi dalam perutnya
Engkau mendesah mencari gagang pintu yang sekali pernah terkunci—petapeta terbakar
Pada ruangruang ternganga bibirbibir kita saling menyala
Bercinta!
Porong, 26 Okt 08
Minggu, 31 Agustus 2008
Kematian yang Menggairahkan.
Suatu senja, seseorang bertambang siang mengajakku berbincang di bangku cakrawala. Dengan kopi hangat di dadanya, ia mulai menggelapkan langit.
“Aku berpikir tentang kematian―ia terasa begitu dingin dan sunyi. Satu waktu, aku pernah mengunjunginya di kedalaman cinta tak tertahankan. Dengan gairah membuncah aku mengajaknya bercumbu tanpa kondom. Entah dia alergi terhadap latex, bibirnya tibatiba mengeras.”
“Bagaimana dengan mataku yang menyala?” lirihku.
“Engkau telah cukup memberinya rumah, tak perlulah bersumpah. Katakata tak cukup mampu membawa terang pada gelap yang mengantarkan mereka lelap.”
Saat malam menghitam, aku melihat bibir, hidung, jug apipi sedang bergumul nikmat dengan kematian.
“Ambilah! Kebahagiaan terlalu panas sendirian kuremas.
Porong, 27 Agustus 08
Kamis, 28 Agustus 2008
Melahap Malam.
hanya demi sedikit kelam
yang terlalu bercahaya
di sudut pilu demam
"jemariku bergetar
nanar menjamah desahmu
yang bertubuh kekar"
sepi beranjak senyap
"aku" melenyap
surabaya, 01 Juli 08
Sabtu, 23 Agustus 2008
Biografi Kesunyian.
Malam merasuki relungrelung kosong dalam ruangan kelabu, dalam diriku. Mengisinya dengan desahan tertahan hingga membuncah dan tak bisa pecah: sebagian dari diriku mengalun pergi bersama nafas yang menyumpahi pagi. Aku terpendam dalam diammu bersama dendam sesosok tubuh tanpa peluh, juga kesunyiankesunyian tak teraba yang bergentayangan di setiap jerit per detik. Aku teringat kematian.
Tubuhku liat dalam belaian penuh irama yang mengalun tentram seperti seorang peniup saxophone yang begitu jatuh cinta pada sebuah senja. Dengan langkah lindap engkau menghunus kesakitan yang begitu engkau banggakan, pelan-pelan engkau menarik nafasku yang mendesah-desah ke dalam selimut penuh lubang. “Paku-paku pada kepalamu harus dimasukan kulkas, agar tidak lekas karat,” bisikmu.
Aku sama sekali tidak bisa menghentakkan kematian yang menikamku berkali-kali, entah. Dengan tubuh yang meluruh gulungan pasir dari sebuah pesisir aku hampir tak dapat menghentikan mimpi-mimpi ini. Juga dirimu.
“Apakah kebebasan dapat menjamin kematian karena diri sendiri?”
Aku terkesiap dalam mimpi yang masih belum dapat diinterupsi. Kulihat engkau bertebaran pada warna-warna perunggu dari kekalahan manusia atas hasratnya sendiri. Kulihat engkau berjalan mengarungi waktu dengan sebelah kaki dan tertawa menyumpahi pagi. Kulihat engkau pulas tertidur memeluk TV plasma duapuluh sembilan inchi yang menyala—aku melihat diriku sendiri sedang bermimpi dan mencoba melompat dari TV menuju piringan-piringan DVD yang penuh luka. Tapi tetap saja aku tak dapat bangun. Meski telingaku berdarah-darah dan daun-daun berguguran dari mataku—aku belum dapat melihat wajahku.
“Lepaskan dulu kawat-kawat yang melilit putingmu,” engkau mengigau sambil merubah posisi tidurmu yang masih memeluk TV. Font-font yang berkeliaran dalam kepalaku tak kunjung tertangkap oleh mulutku. Kepalaku mengeluarkan cahaya yang berhamburan pada dinding-dinding penuh potongan-potongan kuku, kalimat-kalimat yang keguguran, puisi-puisi tanpa nasi yang menjadikannya bubur, juga manequin-manequin bugil tanpa kelamin.
***
Siang mengerang. Airmata membangun sejarahnya sendiri pada likaliku anatomi pipi, hidung, juga dagu yang melengkung—lalu rebah. “Aku mencintaimu seperti aku mencintaimu,” katamu. Tikus-tikus tak terurus dalam dadaku berdecit terus. Tak menyisakan sedikit harmoni pun pada nadanada mayor untuk menjerit. Di rongga yang lain, kucingkucing yang suka kencing hanya sanggup menganga mengutuki dirinya sendiri sambil bermimpi mendapati hati segar dari balik jeruji.
Angin mati di titik ini.
Engkau menangis dalam alunan nadanada panjang tanpa kejang—aku hanya sanggup terdiam, seperti layaknya malam, seperti kucingkucing dalam diriku yang kaku.
Kulitkulit tubuh dalam tubuhku melepuh. Lalu mengelupas perlahan. Menebarkan aroma anyir kesunyian seorang pekerja korporasi—meninggalkan jejakjejak yang pernah menempel.
--April 2007
Perempuan yang Menuai Badai.
Hujan sore itu membawamu dengan mata yang terbuka pada hamparan jurang. Lekaklekuk punggungnya mengingatkanmu pada bulirbulir sperma yang menggenang di bibir selangkangan, saat terhempas dari ketinggiannya yang melenakan. Gigimu selalu tampak jika otakmu menemukan kenangan itu dalam kotak ringkih yang berumur dua puluh tiga tahun: perasaan takut selalu saja menjadi yang pertama merebutmu. Bagaimanapun, engkau merupakan pemanjat ulung, meski aku anak sulung. Jika sudah begitu, matamu tak ingin lagi terpejam. Dan engkau akan senang melongokkan kepalamu pada kedalaman jurang yang absurd, dengan keberanian yang sedikit gemetaran menjaga keseimbangan tubuhmu.
“Aku ingin melihatmu tetap berada pada gugusan batas antara fajar dan pagi yang liar,” selorohmu. “Pada batas itulah aku menemukan awan mendung yang menjagaiku dari terik dan sengit yang akan menyengatku. Melihatmu mengulum senyum membuatku melihat ladangladang yang terbakar saat pencari ikan menepi untuk kembali.”
“Aku hanyalah sunyi yang bernyanyi saat yang lain berlari.”
Apiapi yang bergemuruh bersama asap keruh pada ladangladangmu seperti terusir dari lamunannya yang mendayudayu. Matamu berhenti sejenak untuk mengirimkan tanda pada selsel dalam kepalamu. Engkau hanya mampu melihat warna ungu—ungu yang tak terdapat dalam palet warna pelukis-pelukis realis.
Aku pun hanya tetap membiarkan senyumku melaju dalam kecepatan pada saat berada di sebuah gang kecil perkampungan Penjaringan, tanpa senyum ke kirikanan para pemuda dan orangtua yang hanya melihat matahari dalam wujud cuciancucian yang menggantung. Aku tak tahu lagi apa yang sebaiknya aku lakukan, menghadapi kenyataanmu yang seperti itu. Tapi kemudian, aku berlalu. Melewati ganggang kecil yang semakin sesak dengan katakata yang berserakan dari ibuibu yang tak lagi menemukan lapanganbola di ruang keluarga dalam rumahnya—hanya TV yang menyajikan komentator dan semburat warnawarni makeup, lipstik, eyeshadow maupun pesona shampo.
Handphonemu memanggil. Engkau terhenyak dari kerapatan pikiranmu dan kembali pada kenyataan—yang absurd bersengkarut dengan apapun yang melongo. Detikdetik terasa berat mengayunkan tubuhnya. Aku salahtingkah bersama diam yang berwarna hitam.
Sebentuk sungai dengan tubuh yang kurus mengalirkan memori pada dahandahan yang menggugurkan daundaunnya pada jalan raya yang lengang, di samping rumahrumah megah dengan pagar setinggi jempol kaki dajal dalam kisahkisah kyai saat aku ngaji dulu. Lalu tubuhku ingin basah, langsung menyentuh kulitkulitku.
“Kau tahu apa yang aku pikirkan,” suaramu menghilangkan tubuhku yang sedetik lagi menyentuh air.
“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”
“Jangan berlagak seperti merapi yang tampak sehatsehat saja padahal hidungnya memerah karena flu. Engkau telah meyakinkan aku pada lingkaranlingkaranmu berpijak yang dulu kuanggap angin putingbeliung. Sekarang, tunjukan padaku di mana kau membuang kaosmu saat aku ingin kau memakainya lagi.”
“Jangan biarkan aku tampak seperti orang asing yang terasing di negeri yang asing. Aku hanya ingin membiarkan hasrathasratku menjelajahi relungrelung ramai yang selama ini tak memberiku tempat berkontemplasi: aku tak ingin lagi memendam sunyi yang akan pecah menjadi berkah bukan bagiku. Biarkan aku menikmati sisasisa makanan yang menempel di jemariku: aku cukup tahu kapan aku akan tidur, walau ayam jantan telah berkokok.”
Hujan lelah mengejan. Malam mulai mematikan lampulampunya yang memerah.
***
Aku meninggalkan nafas tepat pada pagi yang berserakan di seantero tubuhmu; panasnya membuaimu untuk tak segera terjaga. Kamarmu masih berbentuk segitiga. Sisanya membangun kenangan sendiri untukmu. Untukku. Dan membiarkanmu menjadi seperti apa yang engkau inginkan.
Aku mendapatimu telah lepas dari peraduan; hanya sisa nafas yang panas. Sepertinya pagipagi benar kau meninggalkan serakan kenangan di kamarku. Bahkan aku tak kuasa membawa tubuhku menuju dapur dan cucimuka. Semalam adalah kutukan pikiran. Aku tak sanggup menelurkan kata untuk menjadi seperti apa yang aku inginkan.
Sebenarnya aku tak ingin membuatmu menimang airmata; seperti aku yang tak ingin engkau membesarkan kesedihan. Matamu adalah buaian senja bagi demonstran yang tidak menginginkan revolusi yang tidak memiliki nada untuk menari.
“Ah, biarlah aku tetap di sini saja, toh matamu tak akan memandangku dari bawah.”
Orangorang telah bergegas untuk menjadi anakanak panah yang kadang tak tahu kemana harus menancap. Hanya dengan menghafal namanama atau memegang PDA, setiap orang dibohongi untuk menjadi bahagia. Dunia ini telah terlalu sesak dengan kekosongan yang absurd: orangorang tak tahu lagi mana yang dada mana yang payudara—setiap hal memiliki ketidakmampuannya sendiri untuk menguraikan asalmuasal. Kecuali barcode.
Ah, tetap saja aku bersedih.
Mengingatmu mengenakan kacamata dengan bibir atas yang min satu dan bibir bawah yang silindris dua, aku seakan jernih melihatmu di satu sisi. Lambaian tanganmu yang menggapai tubuhku memasuki malammalam panjang dengan meremmelek, desah tidurmu yang membawa nampan penuh makanan, pun belaianmu yang serupa takbir, yang membuatku segera mengambil air untuk mandi dan memakai pakaian baru.
“Jika saja kita cukup punya kata, sayang.”
Aku hanya tak ingin menyanyikan lagu lama sambil berharap akan menjadi hit kembali. Suaraku memang tak mampu untuk itu. Tapi, aku memang benarbenar mencari chordchord yang berbeda—pikiranku tak sesempit itu, aku tahu tak ada yang benarbenar murni.
Ini bukan sekedar masalah ekonomi atau engkau yang ingin aku menjadi ayah bagi anakanakmu. Masalah kita tak sehitamputih kotak catur. Engkau tahu ketakutanketakutan yang menyatroniku, juga api yang kugunakan membakar sampah plastik kita yang membuncah. Kita hanya tak perlu menatap mereka jika masih meratap—meski mereka mempunyai kemilaukemilau janji.
Nanti, aku akan menjengukmu dalam penjarapenjara yang engkau percayai sebagai peraduan ternyaman.
Rabu, 20 Agustus 2008
Merayap Lelap
Menyelinap di tengah
Deru kereta
Sesuatu yang membuat aku
Merayap sampai lelap
Aku merindukanmu.
Juli 2008
Sebab-Akibat? Aku Memilih Pilihan.
Ada sakit sebelum harapan bangkit.
Ada sunyi yang menari sebelum inspirasi.
Ada katakata yang mengikat sebelum kiamat.
Aku melihat senyap memasuki
Jantung malam di suatu tempat
Yang menjemput kiamat.
Lambungnya telah lama memendam
Marah di samping tong sampah
Yang tak jera diserapah.
Ada yang hilang sebelum kebaruan menjelang.
Ada yang berbisik sebelum amukan menjadi berisik.
Ada geriap sebelum imajinasi meruap.
Ada pilihan untuk tidak menjadi korban.
Terlalu lama hidup redup
Hanya karena bis peradaban
Luput menjemput.
Terlalu lama mesin rajin
Menemani polisi dalam kepala
Yang memenjara jiwaraga
Saatnya berkobar, dan yang terlihat hanya cahaya!
Kaliandra, 14 juli 2008
Menghirup Hidup
Ia telah seumuran lumut di mulut katakata. Menggemari ketakutan hanya karena ketakutan adalah tempat sunyi yang bisa membuatnya menjadi besi. Sejak VCD bajakan menempati ruangruang kantongnya, ia jarang sikat gigi saat pergi mengaji. “Orang perlu mencinta untuk hidup,” katanya, sebelum jemarinya berujar, “orang perlu berjuang untuk mencinta.”
Saat matahari berjanjak lari, ia memilih masuk lemari. Tidak. Tidak. Aku tahu betul ia tidak takut menghujani siang dengan erang. Ia hanya memerlukan sejenis inspirasi di hari kamis untuknya terjaga berjamberjam kemudian. Di suatu tempat bersegi empat, ia akan menjagai tubuhnya dari pudar yang mengejar, sampai si Merah berpusar di antara jera untuk kembali merasa.
“Sebab ungu tak perlu menjadi biru untuk terus melaju.”
Di bawah trotoar: pantai!
Kaliandra, 14 Juli 2008
Lemas Meremas.
Menyergap
Mataku berputar
Hujan darah segar
Lututku lemas
Rapuh meremas
Aku terlalu malu
Entah!
Agustus 2008
Kembali berlari.
Kaliandra, 14 Juli 2008
Entah yang Menyejarah.
Tak lama, salah satu pohon dalam ingatannya rubuh; menimbulkan gaduh. Hanya ada titiktitik cemas dalam saku bajunya. Itu pun telah jenuh. Ia tak tahu meski melangkahkan kemana jarijari kakinya yang telah melepuh.
“Risau ini tak dapat menyelamatkanku. Risau ini tak mampu meredam dendamku.”
Dengan kepastian emansipasi, ia menoleh sejenak ke belakang untuk kemudian meninggalkannya menuju entah yang menyejarah.
“Aku memilih pulih!”
Porong, 26 Juli 2008
Elegi Bagi Diri.
tandatanya
sepucuk kalimat
terbang
mengisi cakrawala
mereka
hanya Ingin
lepas
dari
tandakutip
Porong, 27 Juli 2008
Cerita Kereta.
seiring kereta yang merayap
meninggalkan jejak.”
berada di antara jendela
dan iklan yang bertebaran ilusi
riakriak sedih dari matamu
mulai mencair
—jangan tersenyum!
harapan terasa begitu manis
mengkristal di selasela gigimu
juga hasrat yang melepas karat
aku mendengus
mengembalikan diri
ke dalam sunyi
membiarkan sesuatu
menjarakkan aku dan kamu
yang masih setia berhadapan
—sampai stasiun menurunkanmu
aku masih mengagumimu
Surabaya-Porong, 24 Juli 2008
Akumulasi Harga Diri.
Engkau masih bersetia mengubur imajinasi pada tungkai kakimu. Malam semakin mendendam. Katakata menghujani genteng kepalamu—tubuhmu tak mampu lagi menangis.
Bersiaplah! Udara semakin menipis.
Porong, 26 Juli 2008
Selasa, 15 Juli 2008
Rythem of The Rain.
Sesenja ini hujan telah membasahi pikiranku. Aku kedinginan dipeluknya. Tak sempat baju kuganti, kesedihan juga telah mengantri membasahi. Aku kebingungan hendak mengenakan pakaian apa menyambutnya. Belum lagi habis kebingunganku, hujan dan kesedihan telah meninggalkan aku dalam kesepian.
10 April 2008
Sleepless Jicek.
kabut merebut
engkau memacu
menuju kebut
“usah tikam kata
pada tanya—juga
gerbang lengang yang
gagal terbilang”
lanskap nafas
menggelap
realita menggeriap
kalap
semuanya tampak
tak genap
Jakarta, 08 Februari 08
Pada Kenangan.
Mengingatmu
Seperti membaca
Suratsurat cinta yang
Berserakan dari tubuhmu
Yang tak sempat melayu
Menatap setiap
Ucap yang meresap
Ke dalam
Poriporiku
Aku pun
Hanya sanggup menunduk
Malumalu sambil memainkan
Jemariku yang tak
Tahumenahu
Pada kenangan
Salatiga, 23 Feb 08
Merah yang Berdarah.
Kesedihanmu mulai berdarah. Engkau tak sanggup lagi menahan setiap beban yang dimerahkannya. Hanya ada sedikit ruang yang belum sempat tergenang amisnya; namun engkau pun tak lagi memiliki kaki untuk melangkah. Engkau, seperti juga aku, saat ini begitu mendamba kematian yang sangat mudah: menghanyutkan segala yang melekat di tubuh—sebelum tubuh itu sendiri—ke dalam ketiadaan. Menyerah. Terdapat banyak alasan untuk mengakhiri hidup tapi kita hanya membutuhkan satu saja alasan untuk hidup.
Yah, terlalu lama kita disusupi dan dibuai kesepian hingga kita lupa, terlalu lupa, untuk mengakhirinya.
13 April 2008
Menyingkap Kalap.
Hujan jatuh
Kesunyian mengaduh
Tubuhtubuh berlubang
Nyanyian sumbang
Ada yang menggeriap lindap
Lalu cepat merangsak
“Sukma ini kubawa
Serta untuk memayungi kita
Saat rintik hujan menggoda senja.”
Ketakutan tibatiba
Merebutmu
Aku hanya mampu
Ternganga pada sisasisa
Rambutmu terangkat
Jemariku tak sanggup
Menangkap
Engkau tak kuasa
Menutup mata
Perlahan
Kulitku terkelupas
Dan kenyamananmu tandas
“Engkaulah pundak
Yang membawa jenuhku
Mengadu dan meninggalkan abu.
Engkau juga
Yang mengajariku
Menganyam luka. Mulut ini
Terlalu miskin
Kata untuk menggaruk
Kegatalanmu akan rasa.
Pun imaji yang setia menuntut bakti.
Izinkan aku
Untuk tak bersetia
Seperti aku
Yang tak bersetia pada
Malammalam yang diburu,”
Katamu menyingkap kalap
Jakarta, 05 Februari 08
Mengait Janji.
Sesenyap senja yang terbenam
bohlam aku terdiam
mengiringi malam
“makamkan saja gelisah yang demam”
Aksara masih menggigil
diterjang matamata yang merajang
aku diamdiam
memasuki lubang
nafasmu yang hendak karam
“bulu mataku jatuh, tepat di atas hidungmu.
Aku lupa jalan pulang”
Lalu kata menjelma neraka
lalu kelambu merebutmu
lagilagi kita lupa,
samasama lupa:
imaji selalu menjadi lampu yang menghantui
setiap helaan nafas kita untuk berlari
“gigiku menutup
sebagaimana jantungmu yang berdegupdegup”
Jemari kita saling mengait
janji
Jakarta 05 Februari 08
Kamu.
ingatanku atasmu
berterbangan
menggoda
ditaklukkan
—aku hanya termenung simpul
Jakarta, 07 Februari 08
Helai Tak Terbelai.
Jendela matamu menampakan kaca yang digenangi hujan. Kebisingan tibatiba pasang. Cahaya menerobos muka tanpa aksara—tak kulihat rajutan malam yang menghangatkan dendam.
Kemudian saja, inspirasiku memeluk helai bayangmu yang tak sempat kubelai.
Jakarta, 06 Februari 08
Wajah Rajah.
Pada wajahmu tertulis sejenis rajah. Menyusun aksara ironi dengan gerak mulutmu yang serak. Maafkan aku: aku hanya tak tahu harus memulai dari mana
—andai kau juga mampu menerjemahkan frasa yang aku bawa serta.
Senjautamayogya, 30 Januari 08
Sabtu, 07 Juni 2008
Titik.
Titik
telah sampai aku
pada semantik kata
yang tanak tak lagi beranak
seiring dingin yang tibatiba ingin
kalimat telah menanggalkan tandabacanya
: usah usik sesuatu yang entah
tegaklah!
Minggu, 17 Juni 2007
Terminal Senja.
Deru mesin bisku
Terdengar mengejar. Tapi tak kulihat perpisahan.
Setanganmu tampak basah.
Tapi matamu tak menggugurkan
Daundaun yang resah. Lalu,
Kau tunjukan padaku
Matahari yang tak sempat berucap,
“Selamat malam.”
Terlalu Lama Cinta Telat Waktu.
Terlalu lama cinta telat waktu.
Pada kelembutannya yang abstrak, utopiaku beradu nyata dengan distopia. Semakin lama menunggu semakin kesadaran ini terganggu. Aku telah menunggumu. Semenjak kita berjanji untuk saling mengait jemari.
Angin mulai risau. Kegelapan berhamburan memenuhi ronggarongga dalam mataku. Pun ketakutan menyergapku dengan kehalusan surealis yang menikam.
Terlalu cepat pagi menjemput rerumputan.
Malam kehilangan ketenangannya yang menyala, menyudahi geliat spontan yang begitu perih mengejan. Selalu saja sunyi menelantarkan kelelahankelelahan ini. Mari rayakan. Semenjak bahasa verbal lupa mengepakkan keringatnya. Kita takkan kehilangan kembali fragmen-fragmen tanpa titik yang membawa kita pada hujan rintik.
Terlalu lama kita berdiam mengulurulur makam.
Terapi Diri.
Tak ada apaapa di luar sana.
Waktu takan mampu menyembuhkan luka; sesuatu sejenis panci dalam dirimu tak pernah kosong. Setiap desir pikiranmu yang tertuang di dalamnya akan menjelma air panas yang akan kau seduh kopi—membuatmu hangat menepis karat.
Seperti endorphin dari sebuah coklat kegemaranmu.
9 maret 07
Tawarmenawar Dengan Pelacur.
__tongsampah
Buah zakarku membuka tanya
Menanti jawaban lidahmu
Yang menggigil ragu
Putingku mengerjap
Membangunkan malam dengan kalap
Kau terkesiap
Keheningan begitu bening
Menggugurkan matamatamu
Pada jemari lentikmu
Kau terpejam
Kujilati remahremah resah
Yang menggeliat karat
: pelacur mana yang tak punya
surganeraka selain kelaminnya
sendiri?
“Ssstt,,, padamkan suaramu
Kalimat hanya akan memikat
Kiamat.”
22 februari 07
Tanya dalam Rumput.
Tanya dalam Rumput
Dusta adalah tanya dalam rerumputan yang terus menjalar di halaman lengang dalam diriku seperti halnya esbatuesbatu yang mencair pada kulkas dalam nadiku yang meranggas. Jika kau pikir segala senyum dapat berubah merah, bagimana dengan tangis yang seketika sinis? Percayalah, ketakutan ini bukan sematamata gerimis penuh berahi di sebuah senja pada kota tua—dalam diriku.
Ketakutan ini serupa hidup yang terus menerus hadir dalam rupa yang sama; fesyenfesyen lapuk yang menyelubungi matamata nanar yang memandang liar dan terus melaju pada belukar kata dan makna.
Hingga kau terbenam dalam belaian senyummu, aku akan kembali pada rumputrumput yang terus menjalar; menyianginya dan menyeduh sedikit amarah tanpa harus kalah—di ruang keluarga yang hangat dengan sedikit sakit—dalam diriku.
17 jan 07
Tandakoma.
Puisipuisiku
Tanggal
Dari
Batangnya
Memberi
Interupsi
Sunyi
Untuk
Aku
Melangkah
Mencari
Akarnya
: sejauh
Engkau
Mengayuh
Sauh
Tamu Tak Diundang.
“semboyan setiap penulis:
gila aku tidak bisa
waras aku tidak pantas
bisaku hanya neurotik”
--Roland Barthes
tibatiba cemas menyelinap
ke ruangtamu yang pengap
—dalam diriku
sepertinya ia masuk
lewat jendela telinga
yang kubiarkan terbuka
duduk di sofa ia menyalakan TV
dengan secangkir kopi
sambil menyeruput iklan
tentu saja aku terganggu
beringsut dari tidurku
yang malumalu
lalu keluar kamar
menuju kulkas
sedang apa yah kamu
di dalam?
(kemarilah masuki pelukanku
aku menantimu)
22 februari 07
Sudah.
Aku putih menyerpih
; bersama hujan yang tak merintik
perih. Dosaku
berlalu menjadi payung
biru dalam lingkaran
syahdu.
Sudah. Biarkan menyala
: menyongsong pelangi
bujur sangkar
menepi
bdg, 14 feb o6
Seringai Merah Jambu.
Serupa bening yang mengiringi hening, ia kembali pada titik sebelum resah mengulumnya. Masih menggenggam aspal dan kacakaca, ia bernyanyi lirih. Sampai mulutnya tak mampu mengeluarkan aksara apapun—hanya bentukbentuk rongga yang menggeliatliat.
“Kita mungkin tak perlu apapun untuk mati.”
“Bahkan sekedar alasan?”
“Mati memiliki logikanya sendiri.”
Senja lalu menciumku seperti kekasih yang lupa jalan pulang. Menatap terus ke depan. Sekaratnya dan sekaratku bertabrakan. Kita terpental menjelajahi kebisuankebisuan vibrasi televisi. Sekarang, kita benarbenar tak tahu berada di mana.
“Setidaknya, mati bukan mitos.”
Hidupku di dalam diriku yang hidup bersama diriku menyeringai. Merah jambu.
Senin, 06 Agustus 2007
Senyawa Rawa.
Sesenyap melepas asap ke kuburan terdalam dari kedipan yang merajam, aku terengah menghadap kalap. Hembusan nafasmu mengalunkan birahi kotatua yang merasa sunyi dihadang renta. "Adakah kata tanpa aksara?"
Jemarimu melentikkan api yang gemericik ke dalam tubuhku. Sedang rapuh begitu manja menjajakan gelegak yang belum lagi tegak. "Jika kamu mengatakan senja titisan tiada, asyikkah kesendirian?"
Mata kita samasama mengejan, membiarkan sesuatu yang tak ternalar memainkan nadanya. Dan telingatelinga kita saling mencari.
Minggu, 17 Juni 2007
Senja yang Lepas.
Senja bukan saja telah mencampakkan aku dan memaksakan terang yang mengerang. Senja juga yang memasukkan mesinmesin pemintal ke dalam kepalaku dan membuat hidupku berdetak seolah bom waktu. Saat aku selesai mencuci tanganku, anggota tubuhku yang lain merengek seperti mobil derek.
“Aku sudah cukup lelah.”
Dalam jalan raya yang penuh kemacetan juga perasaan waswas terhadap rambu lalulintas. Orangorang saling bergegas menuju entah yang terarah. Juga kulitkulit yang mengelupas dan mencoba menempatkan daun pintu pada posisi yang pas.
“Apakah hidup hanya berarti bertahan redup?”
Seize The Day II.
Engkaulah
Malam panjang tanpa
Waktu yang mengulum
Gumintang menjadi
Tampak usang untuk
Diucapkan puisi
Dari
Kegelapanmu
Seberkas telaga
Memancarkan geriginya
Yang dahaga
Akan belaian purba
Menggairahkan
—memintamu menjulurkan
Lidah untuk mengecap
Orgasme tanpa titik
Dari
Kesahduan tubuh
Utuh yang berpeluh
Hiduplah sayang
Pada getargetar
Yang menggelinjang
Seize The Day.
I
Jika jemari kasarmu
Melentik dengan lilin yang gemerlap,
Jika mata merahmu
Tersenyum dengan cahaya marun,
Jika hidung pesekmu
Memancung dengan plastik yang gemericik;
Biar kubasuh lukamu
Dengan liur yang sedikit berpuisi.
Ketakutan ini adalah pagi
Yang tak ingin memecahkan embun
Pada dedaunan rimbun.
Agar mati kelak
Tak menghadirkan hidup yang tak terhidupi.
II
Jika hening membuatmu gusar
Pada matahari yang terbit dari pusar,
Biarkan katakataku meluruh
Dan membuat dewa cinta terbunuh:
Sudah seharusnya ia mendapat tempat
Di keranjang segiempat.
Jika kebenaran menyelimutimu
Dengan cinta Oedipus pada ibundanya,
Biarkan rasa bersalahku menggilas
Ayahnya yang mati
Untuk kesekian kali.
Tatap kesedihanmu yang meratap.
Engkau tak perlu menjadi benar
Dalam disiplin barisan,
Cukuplah menjadi pemberani
Bagi kematian yang kau persiapkan.
Seikat Kata (yang) Tersirat.
Engkau menulisi pikiranku;
Dengan awan dengan
Hujan, ciptakan kubangan
Tempat mandi
Bagi diri yang bernyanyi
Sambil menari menyumpahi
Pagi—
pada lanskap yang telanjang
memanjang
seolah sedang membangun
katakata
yang dapat terbang
melintasi baitbarisrimairama
menjadi
makna
lalu, membiarkannya
dihembuskan angan
;menyerpih melepas perih
Engkau menulisi pikiranku;
Dengan langit dengan
Mata yang menyipit
Pada baris pertama,
Engkau
Memberinya judul
Seikat kata yang tersirat
Sebuah Subuh di Peron Imaji.
Pada stasiun imaji
Katakataku menjelma
Harapharap cemas
Yang emas
Membelah setiap huruf A menjadi
Alphabet – sampai Z
Untuk sampai dirimu
(nogosari I – 21 Jul. 06)
Sebuah Cinta Terkapar, Kubunuh!
Lalu engkau terpaku
Pada pahatanpahatan masalalu yang bisu
“Bisakah kau matikan suarasuara itu?”
Cukup sudah berdarah
Menjadi patahanpatahan lelah
Engkau menyeringai diterjang waktu
Lalu engkau mengigau
—dan aku mendesau
“Sampai di mana kita?”
Selasa, 04 September 2007
Sebening Hening.
Senja katakata terburai
Gemulai senyummu
Selaksa madu
Meninggalkan jejakjejak
Di seantero sukmaku
Hingga ia menjadi lekang
Aku hanya tak ingin hilang
: setidaknya tersangkut
Langkah kecil dari mimpi
Yang kau hendak angkut saja
Sudah cukup merebahkan lutut
Sebening hening
Kala sang pecinta
Mengalungkan bahagia
Pada leher kekasih
—Menghempas kulitkulit yang terkelupas
Minggu, 26 Agustus 2007
05:28:50
Sambil Menunggu Hujan Berhenti.
Pada lukanya yang ungu aku berseru, sedingin apakah engkau wahai sakit yang berkelambu hingga engkau tak lagi berkuku? Terdengar diam yang masuk angin: pameran kejijikan dan kesetiaan yang bertubitubi sekaligus. Lalu, dengan tubuh yang bergetar di satu sisi dan dengan muak yang pucat di sisi lainnya, ia muntah: seperti mengeluarkan nanah dari luka yang telah mengering, keputusasaan dapat menjadi pengiring makan malam yang dusta dan membiarkan bahagia mengambil perannya sebagai pengenyang yang tak pernah menemui titik kenyangnya.
Dan aku masih melamun lama hingga hujan reda.
Pisau dalam Diriku.
Pisaupisau dalam diriku mendesau, tanak oleh gelisah, lalu beterbangan menuju suasana penuh igau. Ditempatinya suasanasuasana tersebut dengan ketakutan seorang tiran terhadap debudebu perlawanan.
Aku tetap saja bermain manja meski tidur tak memberi keramahan laiknya sebuah kasur. Tak heran memang: rindu ini selaksa hujan gerimis di suatu senja dengan pelangi yang memayungi, pun bau tanah yang mengilhami.
Belum juga tuntas desau pisaupisau dalam diriku, juga senja yang dipayungi pelangi, aku telah ditikam oleh dendam dari suatu masa yang padam oleh suatu entah.
"Matikan semua cahaya: biarkan aku menjadi cahaya!"
Persetubuhan Tandaseru.
Katakataku berguguran pada kukukuku kakimu dengan buah zakar yang membuka. Juga lubang pusarku yang terkelupas hampir lepas. Dunia ini bongkahan altar—pada rambutrambut halusmu kuhisapi angguranggur yang berkelakar.
Matamu tersenyum, menyunggingkan sesosok tubuh tanpa masa lalu yang rapuh. Dengan hidung di kaki dan gigi di jarijari. Berjalan mengeja malam untuk menghafal kelam—liat menggeliat.
Jika mimpi adalah ilusi maka ilusi hanyalah mimpi aksen
: sehangat bermalam di desahmu yang menyengat.
Perjalanan Malam.
Derit mesin tua yang gemericik mengganjili sudah gerak tarian hujan. Malam terbunuh. Sepi berhamburan meloncati tubuhtubuh melepuh dalam mimpi bersauh. Kita lupa berharap. Kita lupa pada hasrat yang membuat kita genap sebelum dicerabut lelap. Markamarka yang berserakan memberi murka. Tandatanda kehilangan rupa. Arwah penasaran sang malam menjengukku dan mengapit lenganku.
Mungkin kita akan sampai sebentar lagi. Tapi bukan cinta, sepertinya. Karena aku tidak melihat kata yang berkacakaca.
Selasa, 06 Nopember 2007
Perikecilku.
Rangkaian senyummu masih merambati detak geloraku yang teronggok kaku dalam kulkas tanpa lampu. Pada garis lurus pipimu aku menemukan jurang dengan aroma gunung dan nyanyian burung
—tentu saja terdapat juga rapuh yang subuh di
Tapi kita sama sekali tak membutuhkan papan iklan dalam masa depan yang belum lagi tertulis. Langkahkan saja: mengeja kalimat perfonem dengan merem
—secantik cinta tanpa tanda petik.
21 Oktober 2007