Everything has been figured out, except how to live.
—Jean-Paul Sartre
Gambar berikut merupakan salah satu adegan dari film The
Matrix. Sebuah adegan di mana Neo "diculik" oleh sekelompok orang
yang akan membawanya ke Morpheus—orang yang teramat sangat ingin ditemui oleh
Neo.
Di dalam mobil, tibatiba saja Switch menodongkan
senjatanya ke Neo dan mengancam: "pilih bergabung dengan kami atau keluar
dari mobil?!" Mendapat ancaman yang tibatiba, Neo menggeriap dan akhirnya
memilih untuk keluar dari mobil—mencoba menguapkan gairahnya yang mendidih untuk
bertemu Morpheus, untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya: "apa sih
Matrix itu?"
Segera setelah Neo membuka pintu, Trinity mencoba
menghentikan niat Neo untuk keluar, lalu berujar: "Selama ini kamu telah
berada di sana, Neo. Kamu sudah tahu jalan itu. Kamu tahu pasti ke mana jalan
tersebut berakhir. Dan aku tahu bahwa bukan di sanalah tempat kamu ingin
berada."
Saat Trinity berkata demikian, Neo memperhatikan jalanan
di hadapan matanya tampak rata, lebar, dan bersih. Tak ada orang atau siapa pun
yang berada di sana. Dari jaraknya memandang, Neo melihat jalanan tersebut
mulai menggelap dan dia tidak mampu lagi melihat apa yang berada di sana. Hanya
ada entah, mungkin. Dengan demikian, Neo akhirnya memutuskan untuk kembali pada
gairahnya semula: melanjutkan perjalanan bersama para "penculiknya"
untuk bertemu Morpheus. Untuk menemukan jawaban dari pertanyaannya.
Adegan dari film The Matrix tersebut juga
seringkali muncul dalam keseharian kita. Jalanan sepi yang Neo tempuh bersama para
penculiknya saat malam dan hujan deras, menyimbolkan jalanan yang tidak banyak
ditempuh oleh orang kebanyakan.
Pada awalnya Neo melihat jalanan yang tampak baik dan
menarik. Lalu semakin menggelap saat kakikaki mengarungi tubuhnya lebih jauh
lagi. Banyak dari kita yang telah menempuh jalanan tersebut, bahkan mungkin
masih hingga saat ini.
Ketika kita sedang berbelanja halhal seputar gaya
hidup—atau apa pun—kita tampak sumringah dan bergairah dengan barangbarang yang
menggelayuti penglihatan kita. Sekali, dua kali, tiga kali kita menikmati
kegiatan tersebut. Tapi sebagaimana jalanan yang semakin menggelap saat kakikaki
kita semakin jauh menempuhnya, kita mulai dihinggapi oleh konsekuensi yang
lahir darinya. Rasa khawatir dan ketakutanketakutan mulai mengambil tempat
dalam diri kita.
“Bagaimana jika aku tak punya uang untuk membeli
barangbarang yang menggoda itu? Bagaimana jika aku tak nyaman lagi dengan semua
yang aku beli? Apakah aku cukup bahagia? Inikah takdir hidupku?”
Segalanya tentu saja dapat berjalan normal jika tak
pernah ada kecelakaan saat kita hendak berangkat menuju tempat kerja. Segalanya
tentu saja dapat menjadi parade sukacita jika saja Si Anu, teman kerja kita
yang suka cari muka itu, tidak bikin ulah yang dapat menjatuhkan karir kita.
Dan tentu saja, semuanya akan tersenyum jika saja Bapak/Ibu Itu selalu dalam
mood baik sehingga tidak memecat kita tanpa pesangon.
Talitali peraturan tersebut mengikat kita di kehidupan
seharihari sama persis dengan yang terjadi di film The Matrix. Neo telah
seringkali berjalan di jalanan yang rata dan bersih itu. Dan Trinity mencoba
mengingatkan bahwa seberapa sering pun kakikaki Neo mengeja jalanan tersebut,
dia tak akan pernah dapat menemukan jawaban yang selama ini dicarinya. Neo tahu
bahwa Morpheus adalah oase bagi dahaga dari rasa ingin tahunya. Namun tentu
saja hal tersebut tak akan mudah, semenjak tak ada formula pasti bagaimana
menjalani hidup yang bahagia itu.
Jika Neo keluar dari mobil dan kembali menyusuri jalanan
sama yang selama ini ditempuhnya, setelahnya dia hanya akan bisa mendugaduga.
Neo hanya akan mampu beranganangan, "seandainya", karena dia tak
menemukan jawaban dari apa yang dia cari. Jawaban dari pertanyaan yang
membawanya ke titik perubahan—untuk menghidupi hidupnya. Dalam malam yang
mendendam, yang ditingkahi dengan hujan deras, Neo hanya mampu terpekur,
"coba saja waktu itu aku tetap di dalam mobil... seandainya saja aku cukup
berani..."
Kita semua berada di jalanan tersebut, kadangkadang,
dengan harapan bahwa kita mampu mengusir masalah yang menggelayuti kita. Atau
setidaknya, dapat membujuk sang masalah agar lebih lunak dalam mendidik kita.
Tak perduli seberapa banyak angka yang tertera pada umur
kita, seberapa banyak buku pengalaman yang kita kumpulkan dalam perpustakaan
hidup kita—tanpa keberanian untuk mencoba dan mencoba, kita hanya akan menjadi
saksi dari keterpurukan diri kita sendiri. Impian bahwa "semua akan indah
pada akhirnya" tanpa sebuah keberanian untuk melakukan breakthrough,
sama halnya seperti Miyabi yang menjadi ibu kita—hanya terjadi di film bokep.
Ilusi semata.
Sebagaimana Neo, kita memerlukan lebih banyak lagi
keberanian. Agar mampu meloncat ke jalanan penuh hujan di saat yang lainnya
takut basah. Tak perlu beringsut karena sepi, sebab seperti yang dibisikkan oleh
Chairil Anwar, "Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti."
Sebab masadepan belumlah tertulis.
Jakarta, 30 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar