Sabtu, 23 Agustus 2008

Biografi Kesunyian.

Aku berharap bertemu wajahku dalam gelap yang menyergap.

Malam merasuki relungrelung kosong dalam ruangan kelabu, dalam diriku. Mengisinya dengan desahan tertahan hingga membuncah dan tak bisa pecah: sebagian dari diriku mengalun pergi bersama nafas yang menyumpahi pagi. Aku terpendam dalam diammu bersama dendam sesosok tubuh tanpa peluh, juga kesunyiankesunyian tak teraba yang bergentayangan di setiap jerit per detik. Aku teringat kematian.

Tubuhku liat dalam belaian penuh irama yang mengalun tentram seperti seorang peniup saxophone yang begitu jatuh cinta pada sebuah senja. Dengan langkah lindap engkau menghunus kesakitan yang begitu engkau banggakan, pelan-pelan engkau menarik nafasku yang mendesah-desah ke dalam selimut penuh lubang. “Paku-paku pada kepalamu harus dimasukan kulkas, agar tidak lekas karat,” bisikmu.

Aku sama sekali tidak bisa menghentakkan kematian yang menikamku berkali-kali, entah. Dengan tubuh yang meluruh gulungan pasir dari sebuah pesisir aku hampir tak dapat menghentikan mimpi-mimpi ini. Juga dirimu.

“Apakah kebebasan dapat menjamin kematian karena diri sendiri?”

Aku terkesiap dalam mimpi yang masih belum dapat diinterupsi. Kulihat engkau bertebaran pada warna-warna perunggu dari kekalahan manusia atas hasratnya sendiri. Kulihat engkau berjalan mengarungi waktu dengan sebelah kaki dan tertawa menyumpahi pagi. Kulihat engkau pulas tertidur memeluk TV plasma duapuluh sembilan inchi yang menyala—aku melihat diriku sendiri sedang bermimpi dan mencoba melompat dari TV menuju piringan-piringan DVD yang penuh luka. Tapi tetap saja aku tak dapat bangun. Meski telingaku berdarah-darah dan daun-daun berguguran dari mataku—aku belum dapat melihat wajahku.

“Lepaskan dulu kawat-kawat yang melilit putingmu,” engkau mengigau sambil merubah posisi tidurmu yang masih memeluk TV. Font-font yang berkeliaran dalam kepalaku tak kunjung tertangkap oleh mulutku. Kepalaku mengeluarkan cahaya yang berhamburan pada dinding-dinding penuh potongan-potongan kuku, kalimat-kalimat yang keguguran, puisi-puisi tanpa nasi yang menjadikannya bubur, juga manequin-manequin bugil tanpa kelamin.

***

Siang mengerang. Airmata membangun sejarahnya sendiri pada likaliku anatomi pipi, hidung, juga dagu yang melengkung—lalu rebah. “Aku mencintaimu seperti aku mencintaimu,” katamu. Tikus-tikus tak terurus dalam dadaku berdecit terus. Tak menyisakan sedikit harmoni pun pada nadanada mayor untuk menjerit. Di rongga yang lain, kucingkucing yang suka kencing hanya sanggup menganga mengutuki dirinya sendiri sambil bermimpi mendapati hati segar dari balik jeruji.

Angin mati di titik ini.

Engkau menangis dalam alunan nadanada panjang tanpa kejang—aku hanya sanggup terdiam, seperti layaknya malam, seperti kucingkucing dalam diriku yang kaku.

Kulitkulit tubuh dalam tubuhku melepuh. Lalu mengelupas perlahan. Menebarkan aroma anyir kesunyian seorang pekerja korporasi—meninggalkan jejakjejak yang pernah menempel.

--April 2007

Tidak ada komentar: