Sabtu, 23 Agustus 2008

Perempuan yang Menuai Badai.

Tubuh senja tampak sungsang pada kalimat yang tanak dalam deru pikiranmu: aksara vokal tergilas kencangnya konsonan yang dibarengi tandaseru. Ruang tamu seketika lengang. Engkau tak sempat menyalakan lampu padahal hari mulai tenggelam. Dengan wajah yang terbalik, engkau berlalu sambil menyimpan segumpal dendam. Memasuki sesaknya kamartidurmu tanpa kelambu.

Hujan sore itu membawamu dengan mata yang terbuka pada hamparan jurang. Lekaklekuk punggungnya mengingatkanmu pada bulirbulir sperma yang menggenang di bibir selangkangan, saat terhempas dari ketinggiannya yang melenakan. Gigimu selalu tampak jika otakmu menemukan kenangan itu dalam kotak ringkih yang berumur dua puluh tiga tahun: perasaan takut selalu saja menjadi yang pertama merebutmu. Bagaimanapun, engkau merupakan pemanjat ulung, meski aku anak sulung. Jika sudah begitu, matamu tak ingin lagi terpejam. Dan engkau akan senang melongokkan kepalamu pada kedalaman jurang yang absurd, dengan keberanian yang sedikit gemetaran menjaga keseimbangan tubuhmu.

“Aku ingin melihatmu tetap berada pada gugusan batas antara fajar dan pagi yang liar,” selorohmu. “Pada batas itulah aku menemukan awan mendung yang menjagaiku dari terik dan sengit yang akan menyengatku. Melihatmu mengulum senyum membuatku melihat ladangladang yang terbakar saat pencari ikan menepi untuk kembali.”

“Aku hanyalah sunyi yang bernyanyi saat yang lain berlari.”

Apiapi yang bergemuruh bersama asap keruh pada ladangladangmu seperti terusir dari lamunannya yang mendayudayu. Matamu berhenti sejenak untuk mengirimkan tanda pada selsel dalam kepalamu. Engkau hanya mampu melihat warna ungu—ungu yang tak terdapat dalam palet warna pelukis-pelukis realis.

Aku pun hanya tetap membiarkan senyumku melaju dalam kecepatan pada saat berada di sebuah gang kecil perkampungan Penjaringan, tanpa senyum ke kirikanan para pemuda dan orangtua yang hanya melihat matahari dalam wujud cuciancucian yang menggantung. Aku tak tahu lagi apa yang sebaiknya aku lakukan, menghadapi kenyataanmu yang seperti itu. Tapi kemudian, aku berlalu. Melewati ganggang kecil yang semakin sesak dengan katakata yang berserakan dari ibuibu yang tak lagi menemukan lapanganbola di ruang keluarga dalam rumahnya—hanya TV yang menyajikan komentator dan semburat warnawarni makeup, lipstik, eyeshadow maupun pesona shampo.

Handphonemu memanggil. Engkau terhenyak dari kerapatan pikiranmu dan kembali pada kenyataan—yang absurd bersengkarut dengan apapun yang melongo. Detikdetik terasa berat mengayunkan tubuhnya. Aku salahtingkah bersama diam yang berwarna hitam.

Sebentuk sungai dengan tubuh yang kurus mengalirkan memori pada dahandahan yang menggugurkan daundaunnya pada jalan raya yang lengang, di samping rumahrumah megah dengan pagar setinggi jempol kaki dajal dalam kisahkisah kyai saat aku ngaji dulu. Lalu tubuhku ingin basah, langsung menyentuh kulitkulitku.

“Kau tahu apa yang aku pikirkan,” suaramu menghilangkan tubuhku yang sedetik lagi menyentuh air.

“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”

“Jangan berlagak seperti merapi yang tampak sehatsehat saja padahal hidungnya memerah karena flu. Engkau telah meyakinkan aku pada lingkaranlingkaranmu berpijak yang dulu kuanggap angin putingbeliung. Sekarang, tunjukan padaku di mana kau membuang kaosmu saat aku ingin kau memakainya lagi.”

“Jangan biarkan aku tampak seperti orang asing yang terasing di negeri yang asing. Aku hanya ingin membiarkan hasrathasratku menjelajahi relungrelung ramai yang selama ini tak memberiku tempat berkontemplasi: aku tak ingin lagi memendam sunyi yang akan pecah menjadi berkah bukan bagiku. Biarkan aku menikmati sisasisa makanan yang menempel di jemariku: aku cukup tahu kapan aku akan tidur, walau ayam jantan telah berkokok.”

Hujan lelah mengejan. Malam mulai mematikan lampulampunya yang memerah.





***



Aku meninggalkan nafas tepat pada pagi yang berserakan di seantero tubuhmu; panasnya membuaimu untuk tak segera terjaga. Kamarmu masih berbentuk segitiga. Sisanya membangun kenangan sendiri untukmu. Untukku. Dan membiarkanmu menjadi seperti apa yang engkau inginkan.

Aku mendapatimu telah lepas dari peraduan; hanya sisa nafas yang panas. Sepertinya pagipagi benar kau meninggalkan serakan kenangan di kamarku. Bahkan aku tak kuasa membawa tubuhku menuju dapur dan cucimuka. Semalam adalah kutukan pikiran. Aku tak sanggup menelurkan kata untuk menjadi seperti apa yang aku inginkan.

Sebenarnya aku tak ingin membuatmu menimang airmata; seperti aku yang tak ingin engkau membesarkan kesedihan. Matamu adalah buaian senja bagi demonstran yang tidak menginginkan revolusi yang tidak memiliki nada untuk menari.

“Ah, biarlah aku tetap di sini saja, toh matamu tak akan memandangku dari bawah.”

Orangorang telah bergegas untuk menjadi anakanak panah yang kadang tak tahu kemana harus menancap. Hanya dengan menghafal namanama atau memegang PDA, setiap orang dibohongi untuk menjadi bahagia. Dunia ini telah terlalu sesak dengan kekosongan yang absurd: orangorang tak tahu lagi mana yang dada mana yang payudara—setiap hal memiliki ketidakmampuannya sendiri untuk menguraikan asalmuasal. Kecuali barcode.

Ah, tetap saja aku bersedih.

Mengingatmu mengenakan kacamata dengan bibir atas yang min satu dan bibir bawah yang silindris dua, aku seakan jernih melihatmu di satu sisi. Lambaian tanganmu yang menggapai tubuhku memasuki malammalam panjang dengan meremmelek, desah tidurmu yang membawa nampan penuh makanan, pun belaianmu yang serupa takbir, yang membuatku segera mengambil air untuk mandi dan memakai pakaian baru.

“Jika saja kita cukup punya kata, sayang.”

Aku hanya tak ingin menyanyikan lagu lama sambil berharap akan menjadi hit kembali. Suaraku memang tak mampu untuk itu. Tapi, aku memang benarbenar mencari chordchord yang berbeda—pikiranku tak sesempit itu, aku tahu tak ada yang benarbenar murni.

Ini bukan sekedar masalah ekonomi atau engkau yang ingin aku menjadi ayah bagi anakanakmu. Masalah kita tak sehitamputih kotak catur. Engkau tahu ketakutanketakutan yang menyatroniku, juga api yang kugunakan membakar sampah plastik kita yang membuncah. Kita hanya tak perlu menatap mereka jika masih meratap—meski mereka mempunyai kemilaukemilau janji.

Nanti, aku akan menjengukmu dalam penjarapenjara yang engkau percayai sebagai peraduan ternyaman.

Tidak ada komentar: