Sabtu, 07 Juni 2008

Sambil Menunggu Hujan Berhenti.


Pada lukanya yang ungu aku berseru, sedingin apakah engkau wahai sakit yang berkelambu hingga engkau tak lagi berkuku? Terdengar diam yang masuk angin: pameran kejijikan dan kesetiaan yang bertubitubi sekaligus. Lalu, dengan tubuh yang bergetar di satu sisi dan dengan muak yang pucat di sisi lainnya, ia muntah: seperti mengeluarkan nanah dari luka yang telah mengering, keputusasaan dapat menjadi pengiring makan malam yang dusta dan membiarkan bahagia mengambil perannya sebagai pengenyang yang tak pernah menemui titik kenyangnya.

Dan aku masih melamun lama hingga hujan reda.

Tidak ada komentar: